Kebijakan Presiden AS Donald Trump yang menetapkan tarif impor 32% untuk produk ekspor termasuk minyak sawit mentah (CPO) menjadi pukulan bagi Indonesia. Ekspor CPO ke AS mencapai 1,4 juta ton pada 2024, namun sudah turun 20% pada Januari 2025, bahkan sebelum tarif resmi diberlakukan.
Ketua Dewan Nasional SPKS, Mansuetus Darto, menilai tarif ini bukan sekadar proteksi dagang, tapi terkait kepatuhan hukum dan ketelusuran produk. Ia mengingatkan bahwa dampak krisis AS bisa merembet ke Indonesia, seperti yang terjadi pada krisis 2008 saat harga sawit anjlok tajam.
Di tengah tekanan dari luar, beban petani juga bertambah akibat Pungutan Ekspor dan Bea Keluar sawit sebesar US$ 170 per ton yang masih diterapkan pemerintah. Darto khawatir jika pasar ekspor menyempit, sementara serapan domestik belum optimal, petani akan jadi korban utama.
Ia juga menyoroti potensi penolakan pabrik sawit terhadap TBS petani swadaya dan menyebut perlu ada perombakan tata kelola sawit, termasuk pembentukan badan sawit nasional yang independen.
Darto mendesak pemerintah membuka pasar baru, menurunkan tarif ekspor, dan mempercepat penyesuaian dengan standar global seperti EUDR. Ia juga menekankan pentingnya perampingan birokrasi sawit agar lebih responsif dan efisien.