Siapa sangka dari kampung kecil di pedalaman Aceh, seorang anak muda mampu menembus dunia internasional dan menjadi chef di salah satu kota paling suci di dunia: Madinah. Kamisran (24), pemuda asal Lubuk Pusaka, Kecamatan Langkahan, Kabupaten Aceh Utara, kini bekerja sebagai koki di restoran masakan Indonesia di jantung Kota Madinah, Arab Saudi.
Lahir dari keluarga sederhana yang hidup dalam keterbatasan ekonomi, Kamisran tidak tumbuh di lingkungan yang menawarkan banyak kemudahan. Ayahnya hanya menamatkan pendidikan hingga sekolah dasar, sementara ibunya bahkan tidak pernah mengecap bangku sekolah.
“Orang tua saya tidak menempuh pendidikan yang tinggi, ayah cuma sampe SD dan ibu bahkan tidak menmpuh pendidikan. Tapi, orang tua saya menanamkan prinsip hidup yang sampai sekarang masih saya pegang yaitu jujur, bertanggung jawab, dan fokus pada tujuan,” cerita Kamisran kepada Bisnisia.id melalui wawancara daring, 1 Mei 2025.
Baca juga: Muchlis, Desainer Muda Aceh Barat yang Mengukir Prestasi di Dunia Fashion
Perjalanan Kamisran di dunia kuliner tidak dimulai dari mimpi besar menjadi seorang chef. Justru sebaliknya, Kamisran mengaku dulu tidak menyukai kegiatan memasak, apalagi untuk orang lain. Namun semua berubah ketika ia lulus dari SMK dan kesulitan mencari pekerjaan.

“Saya sempat bekerja bersama keluarga di hutan, selama sebulan lebih. Di sana kami masak sendiri, memanfaatkan bahan seadanya. Dari situ, saya mulai belajar arti dari proses memasak. Ternyata kenikmatan masakan itu tidak hanya dari rasa, tapi dari proses perjuangan di baliknya,” cerita Kamisran.
Pengalaman ini menjadi titik balik. Ia mulai tertarik pada dunia masak-memasak dan mencoba bekerja di usaha roti bakar milik temannya di Lhokseumawe. Meski digaji hanya Rp700 ribu per bulan, ia tetap semangat belajar dan mengasah kemampuan memasaknya.
Setelah merasa cukup menguasai keterampilan dasar, Kamisran pindah ke Banda Aceh dan bekerja di restoran dengan gaji lebih baik.
Langkah Kamisran menuju panggung yang lebih besar bermula ketika ia bekerja sebagai helper di restoran di Banda Aceh bersama seorang manajer dan host asal Aceh. Setelah satu tahun bekerja bersama, mereka berpisah namun tetap menjalin komunikasi. Ketika sang manajer kembali ke Jakarta, Kamisran menyusul dan kembali bekerja dengannya di restoran masakan Padang.
@kamisrann Ada yg tau⁉️ ##alhamdulillah #kak @Celine Evangelista_official #terimakasih #sudah #mampir #di #medinaasianrestaurant #CapCut ♬ suara asli – R S T A
Namun kehidupan di Jakarta tak seindah yang dibayangkan. Kamisran harus menghadapi berbagai tantangan dari penyesuaian dengan lingkungan ibu kota, karakter bos dan rekan kerja, hingga masalah sederhana dunia kerja yaitu gaji kecil dan tempat kerja yang tidak nyaman.
“Saya nyaris putus asa. Tapi saya ingat prinsip orang tua saya. Saya tahu, satu-satunya cara agar bisa naik kelas adalah dengan terus upgrade skill,” katanya.
Langkah besar Kamisran menuju Madinah terjadi saat ia kembali menghubungi host lamanya yang sedang kuliah di kota suci tersebut. Host itu kemudian mencarikan informasi dan memperkenalkan Kamisran kepada Chef Kumar, seorang eksekutif chef Indonesia ternama yang membuka usaha kuliner Indonesia di Madinah.
“Saya awalnya minta sama Allah dapat pekerjaan di Arab Saudi, bukan khusus Madinah. Tapi ternyata Allah kasih yang terbaik. Madinah itu kota paling tenang di antara semua kota di Arab Saudi. Adem, tidak bising, orang-orangnya juga tidak resek. Kenyamanannya luar biasa, apalagi dekat dengan Rasulullah SAW,” ungkapnya.

Meski tidak kesulitan mencari pekerjaan di Banda Aceh karena memiliki keterampilan, rendahnya Upah Minimum Provinsi (UMP) menjadi alasan utama meninggalkan kampung halaman. Ia menyebut, pendapatan yang diperoleh tidak sebanding dengan kebutuhan yang harus dipenuhi, terutama kebutuhan keluarga.
“Bukan karena gaya hidup, tapi kebutuhan keluarga besar dan biaya-biaya lain yang membuat kami anak muda Aceh memilih keluar negeri. Tidak apa-apa keluar negeri jauh dari keluarga, yang penting kami bisa menghasilkan uang yang lebih banyak dari sebelumnya dan bisa membantu keluarga,” tambahnya.
Dalam proses wawancara kerja, Kamisran mengaku jujur bahwa ia belum menguasai sepenuhnya masakan Aceh. Tapi ia berjanji akan belajar jika diberi kesempatan. Menariknya, Chef Kumar justru menawarkan posisi untuk memasak masakan Padang yang sudah lebih dulu dikuasai Kamisran.
“Itu benar-benar melegakan. Saya tidak perlu belajar dari nol untuk masakan baru. Saya langsung fokus menyiapkan keberangkatan,” kenangnya.
Kini, ia bekerja di Medina ASIAN Restaurant, sebuah restoran yang memiliki tiga cabang di Madinah. Cabang pertama berada di Jabal Uhud dan menyajikan masakan Nusantara. Cabang kedua di kawasan Haram, menyajikan menu serupa. Sedangkan cabang ketiga, tempatnya bekerja, berada di Mandarin Mall, Jalan Sohman, dan lebih berfokus pada masakan Padang yang dipadukan dengan beberapa masakan Jawa seperti bakso dan soto.
Selain tantangan ekonomi, ia juga harus menghadapi tantangan cuaca ekstrem di Madinah. Suhu saat musim panas bisa mencapai 50 derajat Celsius, sedangkan musim dingin bisa turun hingga 5 derajat.
“Bibir pecah, tenggorokan kering, mata kunang-kunang, AC nyala 24 jam. Tapi sekarang sudah terbiasa,” katanya.
Ia juga menekankan pentingnya niat yang lurus saat memutuskan bekerja di Madinah.
“Kalau niatnya hanya cari uang, bukan di sini tempatnya. Di Madinah itu tempatnya ibadah sambil bekerja. Kalau niatnya ibadah, insyaAllah rezeki akan datang. Bahkan untuk bermimpi ke Madinah saja saya dulu tidak berani. Impian saya hanya sebatas bisa bekerja di Indonesia dan suatu hari mengumrahkan orang tua,” ungkapnya.
Reaksi keluarga saat mengetahui dirinya diterima bekerja di Madinah pun penuh haru. Mereka tidak menyangka, anak dari keluarga miskin di kampung bisa meraih pencapaian besar. Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Tiga bulan setelah ia tiba di Madinah, ayahnya meninggal dunia.
“Salah satu impian terbesar saya adalah membawa ayah dan ibu umrah. Tapi Allah lebih sayang kepada beliau,” ucapnya.
Berangkat dari pengalaman pribadi, ia mengingatkan para anak muda untuk tidak mudah menyerah dalam menghadapi tantangan dunia kerja. Menurutnya, pekerjaan bukan sekadar tempat mencari uang, tapi juga tempat mencari ilmu dan mengasah keterampilan.
“Kalau sedikit saja merasa tidak nyaman lalu keluar, kapan berkembangnya? Kita harus tahu, kerja itu tempat belajar. Tidak semua tempat kerja nyaman, dan itu wajar. Kenyamanan itu kita ciptakan sendiri dengan rasa syukur,” pesannya.
Ia juga memberi nasihat bagi pemuda yang baru memulai karier di dunia kerja, khususnya di bidang food and beverage (F&B).
@kamisrann Di kira Aceh sebesar sendal jepit😁🙏#pertanyaan #orang #pas #tau #aku #dari #aceh ♬ suara asli – kamisrann
“Kalau belum punya skill, jangan langsung mimpi kerja di hotel besar. Mulailah dari gerobak, jual gorengan, martabak, atau burger. Tempat kecil itu lebih terbuka untuk pemula dan memberi banyak pelajaran,” jelasnya.
Menurutnya, proses dari kecil ke besar akan membentuk kualitas kerja yang kuat, dan skill yang diasah dengan sabar akan membuka lebih banyak peluang di masa depan.
Meski telah tiga tahun berada di Madinah, ia mengaku belum ada rencana untuk kembali menetap di kampung halaman. Kalaupun pulang, hanya sebatas liburan dan menjenguk keluarga.
“Kontrak saya tinggal satu tahun lagi. Setelah itu belum tahu, mungkin ke Dubai, mungkin tetap di Arab Saudi, atau negara lain. Tapi yang pasti belum berencana menetap kembali di Aceh,” tutupnya.