Bisnisia.id | Jakarta – Presiden Prabowo Subianto menyatakan komitmen Indonesia menuju swasembada pangan dan energi sebagai langkah utama guna menciptakan kemandirian dalam memenuhi kebutuhan dasar masyarakat tanpa bergantung pada impor.
Komitmen tersebut disampaikan pada pidato pertamanya usai Pengucapan Sumpah sebagai Presiden Republik Indonesia di Gedung Nusantara MPR/DPR/DPD, Jakarta, pada Minggu, 20 Oktober 2024.
Komitmen ini juga termasuk salah satunya melalui pemanfaatan sawit untuk biodiesel. Skenario pengembangan biodiesel B40 hingga B50 tengah dirancang, yang memerlukan perluasan lahan sawit.
Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan potensi peningkatan deforestasi serta hilangnya lahan sumber pangan di masa mendatang. Sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia, Indonesia memiliki luas perkebunan sawit mencapai 16,8 juta hektar. Industri sawit telah menjadi penopang ekonomi nasional dengan kontribusi ekspor senilai US$ 37,76 miliar pada 2022 dan proyeksi US$ 29,54 miliar pada 2023. Meski demikian, kebutuhan untuk memperluas lahan sawit terus meningkat guna memenuhi permintaan ekspor dan mendukung implementasi Program Biodiesel Indonesia.
Moratorium Sawit: Solusi untuk Keberlanjutan?
Untuk menekan ekspansi sawit yang tidak terkendali, pemerintah telah memberlakukan Instruksi Presiden (Inpres) No. 8 Tahun 2019, tentang Penundaan Izin Perkebunan Sawit, dikenal sebagai Moratorium Sawit. Kebijakan ini bertujuan untuk menunda izin baru dan mengevaluasi tata kelola perkebunan sawit. Meski demikian, pelaksanaannya masih menghadapi hambatan di lapangan.
Koalisi Moratorium Sawit menekankan pentingnya analisis komprehensif terhadap dampak ekonomi dan lingkungan, termasuk kajian ‘Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Hidup (D3TLH)’, untuk memastikan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan.
Dampak Ekonomi Positif dari Kebijakan Moratorium Sawit
Menurut Nailul Huda, ekonom dari Center of Economics and Law Studies (CELIOS), penerapan moratorium sawit, jika dikombinasikan dengan program peremajaan tanaman (replanting), dapat membawa manfaat ekonomi besar pada 2045.
Prediksi kontribusi ekonomi dari kebijakan ini meliputi:
– Output ekonomi: Rp28,9 triliun
– PDB: Rp28,2 triliun
– Pendapatan masyarakat: Rp28 triliun
– Surplus usaha: Rp16,6 triliun
– Penerimaan pajak bersih: Rp165 miliar
– Ekspor: Rp782 miliar
– Pendapatan tenaga kerja: Rp13,5 triliun
– Penyerapan tenaga kerja: 761 ribu orang
“Angka ini sangat signifikan dibandingkan dengan skenario tanpa moratorium, yang cenderung membawa dampak negatif di berbagai sektor,” jelas Nailul Huda.
Dorongan perbaikan Tata Kelola
Achmad Surambo, Direktur Eksekutif Sawit Watch, menyoroti perlunya pembatasan izin ekspansi sawit untuk mencegah kerusakan lingkungan yang lebih parah. Menurutnya pengembangan biodiesel berbasis kelapa sawit menghadapi tantangan besar
Pertumbuhan lahan sawit yang tak terkendali dapat mengancam keberlanjutan, terutama karena pemerintah terus mendorong peningkatan penggunaan biodiesel melalui program B40 dan B50.
Menurutnya, Industri sawit memiliki peran strategis dalam mendukung swasembada energi dan ekonomi Indonesia. Namun, keberhasilan program biodiesel berbasis sawit memerlukan tata kelola yang cermat untuk menjaga keseimbangan antara manfaat ekonomi dan keberlanjutan lingkungan.
Moratorium Sawit adalah langkah penting, tetapi implementasinya harus didukung oleh kebijakan yang matang, analisis lingkungan yang mendalam, dan optimalisasi produktivitas lahan yang sudah ada. Dengan demikian, Indonesia dapat memastikan bahwa industri sawit tetap menjadi aset nasional tanpa mengorbankan kelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat.
Sumber: celios.co.id