Bisnisia.id | Banda Aceh – Setelah 18 tahun berlalu sejak diterapkannya Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, berbagai pihak masih menyoroti efektivitas Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA) dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat Aceh. Pembangunan infrastruktur fisik lebih dominan dibabdingkan program pengentasan kemiskinan.
Kurniawan S., seorang pakar hukum dari Universitas Syiah Kuala (USK) yang juga Direktur Eksekutif Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebijakan Aceh (P3KA), mengulas peran, tujuan, serta tantangan dana tersebut dalam mencapai cita-cita pembangunan di Aceh.
“Filosofi dasar dari pemberian DOKA adalah sebagai instrumen untuk membantu Aceh mengejar ketertinggalan dengan daerah lain di Indonesia setelah melalui masa konflik selama lebih dari tiga dekade,” ujar Kurniawan yang juga mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI).
Baca juga: Aceh Tanpa Otsus, Pembangunan Terhambat, Kesenjangan Meningkat
Menurutnya, DOKA merupakan salah satu sumber pendapatan utama di Aceh, selain Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, dan sumber lainnya yang sah.
Lebih lanjut, Kurniawan menjelaskan bahwa DOKA, sebagaimana diatur dalam Pasal 183 ayat 1 UU Pemerintahan Aceh, ditujukan untuk beberapa aspek penting pembangunan, antara lain pembangunan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, pendanaan pendidikan, sosial, dan kesehatan.
“Dana ini sejatinya diarahkan untuk mengatasi isu-isu mendasar masyarakat. Namun, jika peruntukan dana ini tidak tepat atau di luar aspek yang dituju, hal itu berpotensi melanggar amanat UU Pemerintahan Aceh,” tambahnya.
Kurniawan mengungkapkan bahwa penggunaan DOKA di Aceh, sayangnya, masih terlalu dominan untuk proyek infrastruktur, sementara peruntukan untuk program pengentasan kemiskinan terlihat kurang dominan dan juga kurang memiliki daya ungkit di masyarakat. Maka, tidak heran jika setelah 17 tahun Aceh menerima dana otonomi khusus dari pemerintah, saat ini Aceh masih termasuk provinsi termiskin ketiga di Sumatra.
“Setelah lebih dari satu dekade menerima DOKA, dampak langsungnya terhadap kesejahteraan masyarakat Aceh masih jauh dari harapan. Aceh masih tercatat sebagai salah satu provinsi termiskin di Sumatra,” ujar Kurniawan.
Baca juga: Lulusan Kampus di Aceh Banyak Nganggur, Ini Kiat Mengatasinya
Menurutnya, meskipun DOKA telah diterima Aceh sejak 2008 dan digunakan dalam berbagai proyek, hasilnya tidak signifikan dalam mendorong masyarakat untuk bangkit secara ekonomi. Bahkan, program pendidikan dan kesehatan yang dibiayai dari DOKA juga dinilai belum optimal dalam memberikan dampak yang signifikan.
“Meskipun sudah 17 tahun Aceh menerima Dana Otonomi Khusus sejak diundangkannya UU Pemerintahan Aceh, dengan besaran setara 2% plafon nasional DAU (selama 15 tahun pertama dari 2008 hingga 2022) dan sisanya setara 1% plafon nasional DAU (selama lima tahun terakhir dari 2023 hingga 2027), namun sayangnya dana otonomi khusus yang diterima Aceh sejak 2008 hingga 2024 ini belum berbanding lurus dengan dampak terhadap kesejahteraan masyarakat Aceh,” ungkapnya.
Kurniawan menyoroti isu peraturan daerah (Qanun) yang berusaha memperluas penggunaan DOKA di luar alokasi yang diamanatkan UU Pemerintahan Aceh. Qanun Aceh No. 2 Tahun 2008, yang sudah beberapa kali diubah, memungkinkan tambahan alokasi DOKA untuk sektor seperti penyelenggaraan keistimewaan Aceh dalam bidang agama, adat, pendidikan, serta peran ulama dalam kebijakan daerah.
“Perluasan ini sesungguhnya sebuah langkah yang memiliki sisi positif, namun perlu dikelola dengan bijaksana agar tidak bertentangan dengan UU Pemerintahan Aceh yang telah membatasi peruntukan DOKA pada enam aspek utama,” ujarnya.
“Penggunaan dana otonomi khusus untuk penyelenggaraan keistimewaan Aceh, baik di bidang kehidupan beragama, adat, pendidikan, maupun peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah, juga belum memberikan dampak dan daya ungkit yang signifikan bagi masyarakat Aceh,” tegas Kurniawan.
Baca juga: Otsus Harapan Terakhir Menekan Penangguran Aceh
Menghadapi tiga tahun terakhir dari keberadaan DOKA dengan besaran setara 1% plafon nasional, Kurniawan mendesak agar dana yang tersisa ini dapat benar-benar memberikan dampak positif bagi masyarakat Aceh. Ia berharap pemerintah Aceh, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, memfokuskan penggunaan DOKA pada program-program yang langsung menyentuh kesejahteraan rakyat, terutama yang berkaitan dengan pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan ekonomi.
Menutup pandangannya, Kurniawan menekankan pentingnya upaya dari para wakil rakyat Aceh di DPR dan DPD untuk memperjuangkan perpanjangan DOKA melalui revisi UU Pemerintahan Aceh.
“Untuk nasib Aceh pasca berakhirnya Dana Otonomi Khusus pada tahun 2027, diharapkan para wakil rakyat Aceh (baik anggota DPR RI maupun DPD RI) yang terpilih untuk melaksanakan mandat masyarakat Aceh lima tahun mendatang (2024-2029) dapat bersatu, kompak, dan saling menguatkan untuk memperjuangkan perpanjangan dana otonomi khusus bagi Aceh dalam agenda revisi atas UU Pemerintahan Aceh,” pungkas Kurniawan.