Bisnisia.id | Banda Aceh – Dana Otonomi Khusus (Otsus) telah menjadi salah satu tumpuan utama pembangunan di Aceh selama hampir dua dekade terakhir, namun tantangan pengangguran tetap menjadi masalah mendasar yang belum sepenuhnya teratasi oleh pemerintah.
Meski pemerintah pusat terus menyalurkan dana ini untuk mendukung pembangunan di berbagai sektor, tingkat pengangguran di Aceh masih tinggi, yang menimbulkan pertanyaan besar mengenai efektivitas pemanfaatan dana tersebut. Per Februari 2024, tingkat pengangguran di Aceh tercatat sebesar 5,56%, dengan jumlah pengangguran mencapai 145 ribu orang dari total angkatan kerja.
Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, Hafas Furqani, menyoroti bahwa salah satu kendala utama dalam mengatasi pengangguran di Aceh adalah kurangnya program yang berdampak langsung pada penciptaan lapangan kerja berkelanjutan.
Menurut data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS), Aceh masih tercatat sebagai provinsi termiskin di Sumatra pada 2023. Hal ini terlihat dari persentase penduduk miskin di Aceh yang mencapai 14,75%, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan provinsi lain di Sumatra yang rata-rata di bawah angka tersebut.
Meski Aceh telah menerima Otsus untuk mendukung pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan, penyaluran dana ini belum sepenuhnya berdampak pada pengentasan kemiskinan dan pengurangan ketimpangan ekonomi di provinsi tersebut.
“Dana Otsus yang selama ini diluncurkan sejatinya dapat menjadi solusi untuk menciptakan lapangan kerja. Dana Otsus masih diperlukan oleh Aceh untuk melaksanakan agenda pembangunan dan juga menyelesaikan berbagai masalah ekonomi yang masih terjadi, seperti tingkat kemiskinan tinggi, pengangguran tinggi, dan ketidakmerataan pembangunan daerah,” ujarnya.

Hafas menambahkan bahwa pengelolaan Dana Otsus seharusnya fokus pada proyek yang tidak hanya sementara, tetapi bisa memberikan dampak jangka panjang bagi ekonomi lokal. Hafas menjelaskan bahwa Dana Otsus berpotensi membuka sektor-sektor produktif yang dapat menyerap banyak tenaga kerja, seperti industri pengolahan dan pariwisata. Maka dari itu, Dana Otsus ini perlu terus diperjuangkan oleh pemimpin Aceh yang terpilih ke depannya.
“Pemimpin Aceh ke depan masih perlu terus memperjuangkan perpanjangan Dana Otsus sampai batas waktu tak terhingga. Apalagi, disadari oleh pemerintah pusat dan daerah lain bahwa Dana Otsus adalah kompensasi perdamaian yang disepakati Aceh dan Jakarta,” jelas Hafas.
Hafas berpendapat bahwa refleksi mendalam diperlukan dalam pengelolaan Dana Otsus jika ingin benar-benar mengurangi angka pengangguran. Transparansi dan efektivitas dalam perencanaan dan pelaksanaan program sangat diperlukan agar setiap dana yang dikeluarkan benar-benar berdampak pada pengurangan angka pengangguran di Aceh. Ia berharap para pemimpin Aceh berikutnya dapat menilai kembali program yang ada dan lebih fokus pada inisiatif yang menciptakan pekerjaan berkelanjutan.
“Pengelolaan yang bijak adalah kuncinya. Jika setiap rupiah dari Dana Otsus digunakan secara efektif untuk memberdayakan masyarakat dan menciptakan lapangan kerja, maka Aceh bisa mengurangi angka pengangguran secara signifikan,” tutup Hafas.