Bisnisia.id | Banda Aceh – Sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) menjadi pintu gerbang utama bagi perusahaan kelapa sawit di Indonesia untuk bersaing di pasar global. Namun, masih banyak perusahaan sawit yang belum memiliki sertifikasi ini, sehingga berpotensi kehilangan akses ke pasar internasional yang semakin menuntut transparansi dan keberlanjutan.
Sekretaris Umum Pusat Riset Sawit dan Kelapa Universitas Syiah Kuala (USK) Irfan Zikri, mengatakan hingga saat ini masih banyak perusahaan sawit di Aceh yang belum tersertifikasi ISPO. Kondisi ini, menurutnya, menjadi tantangan besar bagi industri sawit di wilayah tersebut.
Berdasarkan data dari Kementerian Pertanian, per Juni 2024, sebanyak 37 perusahaan sawit di Aceh belum mengantongi sertifikasi ISPO.
“Pasar global semakin menuntut produk yang bersertifikasi sebagai bukti keberlanjutan. Tanpa ISPO, akses perusahaan ke pasar internasional akan sangat terbatas, bahkan bisa terhambat,” ujar Irfan kepada Bisnisia.id, Kamis (9/1/2025).
ISPO tidak hanya menjadi syarat administratif, tetapi juga indikator komitmen perusahaan dalam menjaga keberlanjutan lingkungan dan tata kelola industri sawit.
“Sertifikasi ini membuktikan bahwa perusahaan memenuhi standar lingkungan, sosial, dan ekonomi yang diakui secara internasional. Hal ini penting untuk meyakinkan pasar global bahwa produk sawit kita berkualitas dan berkelanjutan,” jelas Irfan.
Menurut Irfan, pasar internasional saat ini sudah memiliki kemampuan untuk melacak asal-usul minyak sawit yang diperdagangkan.
“Traceability atau penelusuran asal sawit menjadi isu krusial. Beberapa tahun lalu, sawit dari Aceh sulit diterima pasar internasional karena dianggap tidak memenuhi standar. Bahkan, meskipun sawit tersebut dijual ke Riau, tetap dapat terdeteksi asalnya itu dari Aceh,” tambahnya.
Meski penting, sertifikasi ISPO bukan tanpa tantangan. Banyak perusahaan menghadapi kesulitan, mulai dari biaya konsultan, proses asesmen, hingga pemenuhan dokumen dan standar tata kelola.
“Biaya sertifikasi tidak murah, terutama bagi perusahaan dengan luas lahan yang besar. Selain itu, mereka juga harus memenuhi berbagai persyaratan, seperti pengelolaan emisi gas rumah kaca, tata kelola lingkungan, dan kesejahteraan tenaga kerja,” kata Irfan.
Selain itu, keterbukaan informasi menjadi tantangan lain yang kerap dihadapi.
“Banyak perusahaan belum sepenuhnya terbuka mengenai data tenaga kerja, keamanan kerja, hingga dampak lingkungan yang ditimbulkan. Padahal, keterbukaan ini menjadi salah satu poin penting juga,” ujarnya.
Irfan juga menyoroti bahwa sertifikasi ISPO bukan hanya tentang memenuhi tuntutan pasar, tetapi juga terkait kepatuhan terhadap regulasi. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2020, seluruh perusahaan sawit di Indonesia diwajibkan memiliki sertifikasi ISPO paling lambat tahun 2025.
“Sesuai juga dengan peraturan menteri pertanian tahun nomor 38 tahun 2020. Yang menyatakan hal yang sama bahwa proses sertifikasi batas waktunya 5 tahun untuk perusahaan mendapatkan sertifikat itu sampai tahun 2025. Jika tidak memenuhi kewajiban ini, perusahaan dapat dikenakan sanksi administratif hingga pencabutan izin usaha. Ini tentu akan berdampak besar pada keberlangsungan bisnis mereka,” tegas Irfan.
Sebagai upaya mendukung keberlanjutan industri sawit di Aceh, Pusat Riset Sawit dan Kelapa USK aktif memberikan pendampingan kepada pemerintah daerah dalam menyusun Rencana Aksi Daerah Kelapa Sawit Berkelanjutan (RADKSB).
“Kami fokus pada riset dan pendampingan perancangan dokumen, terutama terkait produktivitas, efisiensi, dan pemenuhan standar keberlanjutan. Kolaborasi dengan pemerintah, swasta, dan masyarakat menjadi kunci untuk mencapai target sertifikasi ISPO. Karena memang sawit ini secara ekonomi memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap pendapatan daerah,” ujar Irfan.
Irfan berharap, dengan adanya dukungan dari berbagai pihak, perusahaan sawit di Aceh dapat segera memenuhi kewajiban sertifikasi ISPO.
“ISPO bukan hanya tentang regulasi, tetapi juga masa depan industri sawit kita di pasar global sehingga bisa menyakinkan pasar bahwa sawit yang dijual sudah memenuhi standar mutu,” tutupnya.