Bisnisia.id| Banda Aceh – Pangan lokal saat ini menjadi isu strategis di berbagai negara berkembang, termasuk Indonesia. Dengan sumber daya alam yang melimpah dan budaya yang kaya, penting untuk memahami bagaimana makanan lokal dapat diangkat menjadi arus utama di tengah modernisasi dan globalisasi yang semakin masif.
Repa Kustipia, gastronomist sekaligus antropolog makanan, menyatakan pentingnya memahami ekologi budaya pangan berarti memahami perjalanan makanan dari hulu ke hilir dari proses produksi hingga tersaji di meja makan.
“Tidak semua makanan hadir secara instan. Banyak yang harus melalui proses panjang, seperti fermentasi pada teh kombucha, tapai singkong, atau yogurt,” ungkap Repa pada Sabtu (25/1/2025).
Proses ini, menurutnya, menjadi cerminan dari hubungan manusia dengan alam serta tradisi yang melatarbelakanginya.
“Sayangnya, konsumen seringkali hanya fokus pada tampilan akhir makanan aroma, tekstur, dan rasa tanpa memikirkan asal-usulnya,” tambahnya.
Hal ini diperparah dengan aksesibilitas informasi kuliner yang semakin instan melalui rekomendasi online, yang membuat nilai ekologi budaya pangan sering terabaikan.
Repa menjelaskan bahwa untuk memahami makanan lokal secara mendalam, kita harus melihatnya melalui lensa antropologi budaya, ekologi, dan manusia.
“Ekologi budaya pangan membantu kita memahami adaptasi masyarakat terhadap lingkungan dan tradisinya. Misalnya, tradisi kuliner seperti nasi ulam Betawi mencerminkan adaptasi masyarakat terhadap bahan baku lokal,” jelasnya.
Namun, Repa menekankan bahwa keberlanjutan pangan lokal tidak hanya bergantung pada tradisi, tetapi juga pada ekosistem politik dan ekonomi yang melingkupinya.
“Ekologi politik pangan, misalnya, menyoroti ketimpangan sumber daya alam yang sering mengancam keberagaman pangan lokal,” jelasnya.
Isu seperti ini, menurut Repa, membutuhkan perhatian dari berbagai pihak, termasuk jurnalis dan peneliti.
“Kearifan lokal sering disalah pahami sebagai sesuatu yang kuno. Padahal, esensinya adalah pengetahuan tradisional yang berbasis budaya dan lingkungan,” ujar Repa.
Dalam konteks ini, ia menyoroti pentingnya melibatkan masyarakat asal dalam penelitian dan pelestarian pangan lokal.
Keterkaitan antara kualitas bahan pangan dan ketahanan pangan lokal juga menjadi sorotan penting. Repa menjelaskan bagaimana sistem pangan lokal di Indonesia terkendala oleh berbagai faktor, termasuk kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas manusia yang berlebihan. Ia menambahkan bahwa di negara lain seperti Vietnam, mereka sudah mengelola sektor hulu dengan baik, sehingga distribusi pangan ke hilir berjalan lancar dan sistem pangan mereka lebih berkelanjutan.
Repa juga berbicara tentang pentingnya memperbaiki sistem pangan dari hulu, bukan hanya fokus pada hilir.
“Ketika kita hanya memperbaiki hilir, sistem pangan menjadi lebih rapuh, sedangkan memperbaiki hulu akan memperkuat keseluruhan sistem,” jelasnya.
Kendala-kendala ini berhubungan erat dengan masalah politik pangan, yang berhubungan langsung dengan dinamika ekonomi global.
Bicara mengenai kebijakan nasional, Repa mengkritik birokrasi top-down yang cenderung mengabaikan preferensi dan kebutuhan lokal. Menurutnya, ketahanan pangan yang ideal seharusnya menciptakan kesejahteraan, dengan pangan yang cukup, terjangkau, dan selalu tersedia.
“Namun praktiknya jauh lebih sulit, terutama karena ada tantangan dalam birokrasi dan kepemimpinan,” tambahnya.
Salah satu contoh nyata dari sistem pangan yang gagal memenuhi kebutuhan masyarakat adalah kebijakan Makan Bergizi Gratis (MBG). Repa mengungkapkan bahwa meskipun tujuannya baik, sering kali terjadi masalah distribusi, seperti kelangkaan pangan di pasar yang ditujukan untuk catering MBG. Hal ini menambah kompleksitas masalah pangan lokal yang harus dihadapi oleh masyarakat.
Menurut Repa, preferensi makanan lokal, terutama pada anak-anak, juga menjadi tantangan besar dalam menciptakan ketahanan pangan yang berkelanjutan. Anak-anak yang dikenal sebagai “picky eaters” atau pemilih makanan sering kali menolak makanan yang tidak sesuai dengan selera mereka, meskipun harganya terjangkau dan bersejarah.
“Memahami selera lokal sangat penting, terutama untuk target seperti anak-anak yang cenderung lebih memilih rasa tertentu,” ujarnya.
Repa menegaskan bahwa pangan lokal adalah isu inklusif yang membutuhkan kolaborasi lintas disiplin.
“Antropolog, gastronomist, jurnalis, dan bahkan masyarakat umum harus bekerja sama untuk menjaga keberlanjutan pangan lokal,” ujar Repa.
Dengan pendekatan yang berbasis teori dan empiris, ia yakin bahwa pangan lokal dapat menjadi bagian integral dari identitas bangsa sekaligus menjawab tantangan globalisasi.
“Mainstreaming pangan lokal bukan hanya tentang mempromosikan makanan tradisional, tetapi juga tentang memahami dan menjaga hubungan kita dengan lingkungan, tradisi, dan sejarah,” tutupnya.
Repa menekankan bahwa ketahanan pangan lokal dan sistem pangan berkelanjutan adalah masalah yang tidak bisa diselesaikan dalam waktu singkat. Diperlukan pendekatan yang lebih holistik, yang melibatkan berbagai pihak, mulai dari pemerintah, masyarakat, hingga sektor swasta. Transformasi dalam kebijakan pangan yang mencakup aspek keberagaman bioregion serta mengutamakan kearifan lokal, menjadi langkah krusial yang harus segera diambil agar Indonesia dapat menghadapi tantangan pangan dengan lebih baik di masa depan.