Penerapan co-firing pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 1&2 milik PT PLN di Kabupaten Nagan Raya, Provinsi Aceh bukan hanya menurunkan emisi karbon, tetapi juga membuka peluang ekonomi bagi warga sekitar. Kebijakan co-firing memberikan dampak ganda; warga memperoleh penghasilan dari menjual biomassa dan PLTU menghasilkan energi bersih.
Aktivitas di area dome-tempat penumpukan batubara-milik PLTU 1&2 di Desa Suak Puntong, Kabupaten Nagan Raya, Provinsi Aceh, pagi Senin (12/8/2024) terlihat cukup sibuk. Para pekerja lengkap dengan alat pelindung diri (APD) sedang mengoperasikan alat berat, crane, dan ada juga yang sedang memeriksa mesin.
Di satu sudut, beberapa orang sedang menurunkan karung berisi sekam padi dari sebuah truk yang baru tiba dari Kabupaten Pidie. Sekam itu akan digunakan untuk bahan co-firing. Bukan hanya sekam, di sana juga terdapat tumpukan cangkang sawit dan serbuk kayu. Bahan-bahan itu disebut biomassa yang akan dicampur dengan batubara sebagai bahan bakar co-firing di PLTU.
Co-firing merupakan aktivitas pembakaran batubara yang dicampur dengan biomassa sebagai penggerak turbin pembangkit listrik. Daya listrik yang dihasilkan dari co-firing itulah disebut green energy atau energi bersih.
“Bulan ini kami memiliki biomassa yang melimpah, kalau dilihat sekarang terkesan biomassa sebagai bahan utama dan batubara sebagai pendamping,” ujar Tim Leader Operasi Coal Ash Handling (CAH) PLTU 1&2 Nagan Raya, Redha Sukmana kepada Bisnisia.ID.

Redha mengajak Bisnisia.ID untuk melihat lebih dekat proses pencampuran biomassa dengan batubara. Dengan menggunakan alat berat biomassa dan batubara dicampur, lalu dimasukkan ke dalam belt conveyor untuk dikirimkan ke dapur pembakaran. Daya listrik yang dihasilkan lalu dialirkan ke rumah warga dan pelanggan lain.
“Sudah dua minggu kapal tongkang tidak bisa merapat ke dermaga karena cuaca buruk. Namun kami punya banyak stok biomassa. Kalau seperti ini rasanya seperti full biomassa, kan,” ujar Redha.
PLTU 1&2 Nagan Raya salah satu dari 52 PLTU di Indonesia yang menerapkan co-firing. Kebijakan co-firing diatur dalam Peraturan Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) No 12 Tahun 2023 tentang pemanfaatan biomassa di PLTU. Co-firing dianggap solusi jangka pendek menekan produksi energi kotor dari bahan bakar fosil. Sementara biomassa termasuk bahan bakar ramah lingkungan karena bukan dari fosil, tetapi limbah yang tidak merusak lingkungan. Co-firing merupakan transisi menuju penggunaan energi bersih sepenuhnya.
Pemakaian batubara berlebihan dianggap telah memicu emisi karbon yang berakhir pada meningkatnya suhu bumi dan krisis iklim. Oleh karena itu, para pihak mulai dari dunia internasional dan Pemerintah Indonesia sepakat untuk menurunkan emisi dari sektor energi listrik, salah satunya dengan co-firing.
Perhitungan energi hijau dari co-firing dengan cara membagi persentase biomassa dengan batubara dari total daya listrik yang dihasilkan.
PLTU 1&2 Nagan Raya mulai beroperasi pada 2014. Dari dua pembangkit daya listrik yang mampu dihasilkan 2×100 megawatt. PLTU ini salah satu pembangkit andalan untuk memenuhi kebutuhan listrik warga Aceh.
Redha menjelaskan, PLTU 1&2 Nagan Raya telah menerapkan co-firing sejak 2020 dan berlanjut hingga kini dengan kuantitas biomassa yang fluktuatif. Pada tahun 2021, PLTU ini membakar 4.786,26 ton cangkang sawit, yang menghasilkan 2.186.116,56 kWh energi hijau, setara dengan kapasitas sekitar 2,19 MW.
Tidak berhenti di sana, komitmen PLTU 1&2 Nagan Raya untuk memproduksi energi bersih semakin kuat dengan membakar 10.627 ton cangkang sawit pada 2022 dan mampu menghasilkan energi hijau sebesar 11.135,28 kWh.
Namun, pada 2023 terjadi perubahan kebijakan tata pasokan biomassa dan gejolak harga cangkang sawit. Harga cangkang sawit naik sehingga PLTU semakin sulit mendapatkan pasokan yang cukup. Alhasil pada 2023, PLTU tersebut hanya mampu membakar 4.373,11 ton cangkang sawit dan menghasilkan 3.887,00 kWh energi hijau.

Persoalan itu justru dijadikan peluang oleh manajemen PLTU dengan membeli biomassa eceran dari warga. Kebijakan itu berdampak ganda, selain pasokan biomassa tetap terjaga, juga telah membuka peluang ekonomi bagi warga sekitar. Kini sebagian warga menjadikan aktivitas mengumpulkan biomassa sebagai mata pencaharian sampingan. Meski demikian, PLTU juga tetap membeli biomassa dari perusahaan atau vendor.
Alhasil, pada 2024, jumlah biomassa yang dibakar meningkat menjadi 9.863,53 ton, menghasilkan 9.306,02 KWh energi hijau. “Kami sangat senang, kebijakan ini membuka peluang ekonomi baru bagi warga di sini,” ujar Redha.
PLTU 1&2 Nagan Raya membeli biomassa dari warga seperti sekam padi, serbuk kayu, dan serpihan kayu.
Redha menambahkan sebenarnya kebutuhan biomassa belum sepenuhnya terpenuhi, tetapi saat ini pasokan biomassa lebih lancar. Redha mengajak warga Aceh untuk memanfaatkan peluang ini sebagai sumber ekonomi baru.
Manfaatkan peluang
Deriansyah, 40 tahun, warga Kabupaten Aceh Barat mencium kebutuhan biomassa di PLTU sebagai kans ekonomi baru. Aceh Barat adalah kabupaten tetangga dengan Nagan Raya. Dari rumah Deriansyah terpaut 6 kilometer dengan PLTU.
Deriansyah mengajak teman-temannya untuk mengumpulkan limbah kayu yang berserakan di sepanjang pantai Aceh Barat. Kayu-kayu itu limbah yang dihempas ombak ke daratan. Aksi Deriansyah dan kawan-kawannya mengumpulkan limbah kayu membawa cuan dan membuat pantai menjadi lebih bersih.

Sebelum dibawa ke PLTU, limbah kayu itu dicacah menggunakan mesin. Setelah menjadi serpihan kayu baru dijual ke PLTU. Harga jual Rp 668.000 per ton. Minggu lalu mereka mampu mengumpulkan 3,5 ton dan berhasil meraih pemasukan Rp 2,3 juta. Meski tidak besar, tetapi sangat membantu keuangan untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Mereka belum mampu mengumpulkan banyak biomassa karena hanya dijadikan sebagai pekerjaan sampingan. Menurut Deriansyah jika pekerjaan itu dilakukan dengan serius maka dapat menjadi sumber ekonomi baru yang menjanjikan.
Selain warga secara individu, perusahaan vendor pemasok biomassa ke PLTU 1&2 Nagan Raya juga bermitra dengan warga dalam mengumpulkan biomassa. Misalnya PT Kurma Karya Global di Aceh Barat. Perusahaan ini mengumpulkan biomassa dari warga dan menjual ke PLTU.
Humas PT Kurma Karya Global, Ismail Abda menuturkan mereka bermitra dengan kilang kayu dan kilang padi sejumlah kabupaten/kota di Aceh. Mereka mampu memasok 400 biomassa setiap bulan ke PLTU.
“Kami memperkerjakan 60 warga untuk mengumpulkan sekam dan serbuk kayu, paling tidak mereka memperoleh pendapatan Rp 150.000 per hari,” kata Ismail.
Ismail menuturkan sebagian pekerjanya adalah perempuan kepala keluarga tunggal. Keberadaan aktivitas pengumpulan biomassa membantu ekonomi warga akar rumput.
General Manager PLN UID Aceh, Mundhakir, menuturkan co-firing salah satu langkah nyata untuk menciptakan energi bersih yang sangat berarti bagi pelestarian alam. Meski demikian produksi listrik atau energi bersih masih rendah, yakni 4,1 persen.

Upaya untuk memperbesar listrik dari energi ramah lingkungan terus dilakukan, misalnya dengan mempercepat pembangunan PLTA Krueng Peusangan di Aceh Tengah. Pemerintah menargetkan PLTA Peusangan melakukan Commercial Operation Date (COD) unit 1 (45 MW) pada akhir tahun 2024 dan unit 2 (43 MW) pada Mei 2025. Apalbila PLTA Peusangan beroperasi realisasi kontribusi terhadap energi baru terbarukan Aceh dan nasional juga meningkat.
“Aceh punya potensi energi terbarukan 3.619 MW, namun potensi tersebut perlu keterlibatan investasi yang besar,” kata Mundhakir.
Meski demikian langkah yang dilakukan PLN dengan menerapkan co-firing telah berkontribusi untuk melahirkan energi bersih. Sekecil apapun energi bersih yang berhasil diproduksi adalah langkah nyata untuk menyelamatkan bumi dari emisi karbon.