Bisnisia.id | Banda Aceh – Dalam delapan tahun terakhir, Aceh mencatatkan 21 kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang melibatkan perempuan dan anak sebagai korban. Tiara Sutari, Plt Kepala Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Aceh, menegaskan bahwa pihaknya hanya menangani kasus TPPO yang melibatkan perempuan dan anak.
“Kalau laki-laki dewasa menjadi korban TPPO, itu menjadi kewenangan BP2MI. Kami fokus pada perempuan dan anak,†kata Tiara kepada Bisnisia.id, Jumat (24/1/2025).
Tiara menjelaskan bahwa DP3A Aceh memiliki prosedur penanganan yang dimulai dari laporan langsung, hotline, hingga kasus yang viral di media sosial.
Baca juga: Jangkar Kopi, Upaya Bangkit Para Korban TPPO di Aceh
“Jika tidak ada laporan atau kasus tersebut tidak viral, kami tidak dapat bertindak karena tidak mengetahui kondisi di lapangan. Jadi harus ada laporan dulu baru kami bisa bertindak,†ungkapnya.
Tiara menyoroti rendahnya literasi masyarakat sebagai salah satu faktor yang memperparah kasus TPPO. Banyak korban yang tidak sadar bahwa mereka sedang diperdaya dengan iming-iming pekerjaan bergaji besar di luar negeri.
“Masyarakat sering kali hanya memikirkan gaji besar dan kemudahan bekerja di luar negeri, tanpa memahami prosedur legal seperti visa kerja, asuransi, dan perlindungan tenaga kerja,†jelasnya.
Ia juga menyinggung qanun (peraturan daerah) yang melarang masyarakat Aceh menjadi asisten rumah tangga (ART) di luar negeri. Berdasarkan Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2014 tentang Ketenagakerjaan, khususnya Pasal 19 ayat (2), pelaksana penempatan tenaga kerja ke luar negeri yang beroperasi di Aceh dilarang menempatkan tenaga kerja Aceh sebagai Penata Laksana (Pembantu) Rumah Tangga.
“Padahal kan Qanun ini bertujuan untuk melindungi perempuan Aceh dari potensi kekerasan dan eksploitasi, seperti yang banyak terjadi pada pekerja imigran di negara-negara tertentu,†tambahnya.
Namun, meski ada perlindungan hukum, banyak masyarakat yang masih tergiur oleh tawaran pekerjaan ilegal. Tiara mencatat, modus operandi sindikat TPPO semakin beragam, mulai dari penawaran pekerjaan hingga beasiswa fiktif.
“Bahkan ada kasus di mana mahasiswa pintar dari universitas ternama dijadikan scammer setelah dibawa ke luar negeri,†ujarnya.
Untuk meningkatkan kesadaran, DP3A Aceh gencar melakukan berbagai kampanye, termasuk pemasangan baliho besar yang menjelaskan elemen-elemen TPPO.
“Kami juga meminta kepada kepala desa (geuchik), agar mereka lebih waspada terhadap permohonan pembuatan paspor dari warganya. Kepala desa harus tahu tujuan pembuatan paspor dan memastikan tidak ada penyalahgunaan,†ujar Tiara.
Selain itu, DP3A bekerja sama dengan berbagai lembaga lintas sektor, termasuk imigrasi dan kepolisian, untuk mengidentifikasi dan menangani kasus-kasus TPPO.
“Kami berupaya menjangkau lebih banyak masyarakat melalui sosialisasi dan pemberdayaan. Namun, kesadaran masyarakat sendiri juga harus ditingkatkan. Literasi adalah kuncinya,†tegasnya.
Tiara juga mengingatkan bahwa sindikat TPPO saat ini lebih canggih dalam menjaring korban, terutama melalui media sosial. Algoritma digital memudahkan sindikat menargetkan individu berdasarkan aktivitas pencarian mereka.
“Jika seseorang sering mencari pekerjaan atau beasiswa, tawaran palsu akan muncul di media sosial mereka. Masyarakat harus lebih berhati-hati dan tidak mudah percaya,†ujarnya.
Menurut Tiara, keberhasilan pemberantasan TPPO tidak hanya bergantung pada upaya pemerintah, tetapi juga pada peran aktif masyarakat.
“Melapor adalah langkah awal. Banyak korban yang takut melapor karena ancaman dari sindikat. Padahal, jika mereka melapor, kami bekerja sama dengan aparat kepolisian untuk memberikan perlindungan,†katanya.
Melalui kerja sama lintas sektor dan edukasi berkelanjutan, DP3A Aceh berharap dapat meminimalisir kasus TPPO di masa depan.
“Kami ingin masyarakat Aceh, khususnya perempuan dan anak, hidup tanpa rasa takut menjadi korban perdagangan manusia,†pungkas Tiara.