Lalu lalang sepeda motor terus bergelagar di persimpangan Makam Pahlawan, Banda Aceh. Di tepi setelah simpang, spanduk bertuliskan “Jangkar Kopi” terbentang rapi. Desainnya khas laut, menandakan kedekatan penghuninya dengan dunia kelautan. Gambar jangkar terlukis jelas pada logo warung kopi yang berdiri sejak November 2024.
Jangkar adalah alat yang digunakan nelayan untuk menambatkan kapal ke dasar laut agar kapal tidak berpindah tempat. Begitu pula dengan Heri Wahyuna (29), pemuda asal Ulee Jalan, Banda Sakti, Lhokseumawe, yang sudah dua bulan ‘menambatkan diri’ di kawasan pertokoan ini.
Hari itu, Heri menyeduh dan menyajikan kopi dengan semangat yang berbeda. Ia adalah mantan Anak Buah Kapal (ABK) kapal asing, salah satu dari banyak korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang kini perlahan bangkit menata ulang hidupnya.
Pada tahun 2018, ia berangkat melanglang buana ke perairan Amerika Selatan. Keputusan tersebut diambil karena janji manis yang disampaikan seorang perantara di kampung halamannya, Lhokseumawe.
“Saya diiming-imingi gaji besar, 400 dolar AS. Saat itu, ekonomi keluarga sedang sulit, dan tawaran itu terdengar seperti jalan keluar,” kenang Heri kepada Bisnisia.id di Jangkar Kopi, Ateuk Pahlawan, Kecamatan Baiturrahman, Kota Banda Aceh, pada Kamis (16/01/2025).

Namun, kenyataan pahit justru ia temui. Janji-janji manis seperti gaji tinggi sebesar 400 dolar AS per bulan (setara dengan Rp5.520.000 pada tahun 2018), pekerjaan yang nyaman, dan fasilitas memadai, tidak pernah terwujud.
Heri bercerita, ia mulai menyadari bahwa iming-iming kesejahteraan yang dijanjikan perekrut hanyalah palsu adalah ketika ia mulai berlayar. Kekerasan fisik, jam kerja yang berlebihan, makanan yang tidak layak, sakit tanpa pengobatan pun kerap ia dan abk lain alami.
AKP migran juga harus berhadapan dengan lokasi dan kondisi kerja yang tidak pasti karena berada di laut lepas. Heri, bersama rekan-rekannya sesama ABK migran, hanya bisa berharap badai segera berlalu.
Namun, harapan itu sulit ditemukan di laut lepas, tempat mereka berada jauh dari mata hukum dan nilai-nilai kemanusiaan.
Jangkar Kopi, Ruang Pemberdayaan Para Korban TPPO
“Saya kembali ke Aceh pada Oktober 2019, setelah menghadapi berbagai kesulitan selama delapan bulan bekerja di kapal berbendera asing,” ungkap Heri dengan mata yang tampak haru, mengingat beratnya perjuangan yang telah ia lalui di perairan asing.

Pada September 2024, ia mulai bergabung dengan Jangkar Kopi, sebuah inisiatif yang bertujuan mendukung korban TPPO untuk membangun kembali kehidupan mereka.
Jangkar Kopi adalah unit usaha yang digagas oleh Sumatra Environmental Initiative (SEI) melalui dukungan Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) untuk pemberdayaan korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Setelah menjalani masa pendampingan dan pemberdayaan, ia kini aktif terlibat dalam pengelolaan unit usaha tersebut di Banda Aceh.
Jangkar Kopi, mengingatkan Heri pada periode remajanya di Lhokseumawe. Ia dulu menjaga warung kopi sederhana ayahnya di kampung sebelum memutuskan merantau ke negeri orang. Heri merasakan banyak manfaat.
“Perbedaannya sangat jauh dibandingkan ketika saya bekerja di kapal asing. Sekarang, saya bekerja di negara sendiri dan bisa menguasai pekerjaan ini. Rasanya lebih tenang dan pasti,” kenang Heri.
SEI melalui program pemberdayaan korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), meluncurkan unit usaha Jangkar Kopi sebagai langkah awal untuk mendukung pemulihan ekonomi para korban.
Direktur SEI, Masykur Agustiar, menjelaskan bahwa inisiatif ini menjadi salah satu upaya konkret untuk memberikan solusi ekonomi bagi korban TPPO yang mengalami ketidakpastian hukum dan kesulitan finansial.
“Kami ingin menunjukkan bahwa korban TPPO mampu bangkit dan memperjuangkan hak-haknya, termasuk hak ekonomi mereka. Selama ini banyak kasus mereka yang menggantung tanpa kejelasan, sehingga inisiatif ini kami harapkan dapat membantu mereka bertahan,” jelas Masykur.
Masykur juga menyoroti bahwa keberadaan unit usaha ini seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah. Berdasarkan undang-undang, negara wajib menyediakan dana reintegrasi untuk korban TPPO dan pekerja migran purna tugas.
“Namun, karena ketidakhadiran negara, SEI mengambil peran tersebut dengan menginisiasi unit usaha ini,” tambah Masykur.
Konsep Pengelolaan Unit Usaha
Dalam operasional Jangkar Kopi, SEI mengedepankan efisiensi dengan hanya melibatkan korban yang belum memiliki pekerjaan tetap. Dari hasil penyaringan, tiga korban TPPO berkomitmen untuk mengelola usaha ini.
“Dalam tahun pertama, kami sepakat tidak ada pembagian hasil. Fokusnya adalah membangun dan mengembangkan usaha terlebih dahulu,” ujar Masykur.
Pada tahun kedua, keuntungan dari usaha akan dialokasikan untuk membuka unit-unit usaha baru yang akan mendukung korban lainnya. Skema ini dirancang untuk menciptakan solidaritas antar-korban, di mana korban yang telah berhasil akan membantu korban lain.
Masykur mengakui banyak tantangan dalam pengelolaan unit usaha ini, terutama karena ketidakhadiran dukungan dari pemerintah atau pihak-pihak lain. Ketidakstabilan pendapatan usaha menjadi salah satu beban yang harus diatasi.
“Harapan kami di 2025, pemerintah dan pihak swasta dapat turut serta membantu. Jangkar Kopi ini bisa menjadi role model bagaimana negara hadir memberikan kepastian ekonomi bagi korban TPPO dan pekerja migran,” harap Masykur.
Masykur juga menyoroti bahwa pekerja migran merupakan penyumbang devisa terbesar bagi negara. Namun, kenyataannya, hak-hak mereka sering diabaikan setelah mereka kembali ke tanah air.
“Mereka berkontribusi besar bagi negara, tetapi tidak merasakan manfaat dari apa yang telah mereka perjuangkan. Ini adalah ironi yang harus kita benahi,” tegas Masykur.