Bisnisia.id | Banda Aceh – Sepanjang 2017 -2024 Pemprov Aceh menyalurkan dana hibah kepada instansi vertikal seperti kepolisian, kejaksaaan, dan tentara sebesar Rp308,3 miliar. Besaran ini setara dengan biaya membangun 2.936 rumah unit layak huni untuk masyarakat miskin dengan harga per unit Rp105 juta.
Ketua Program Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, Hafidh, dalam konferensi pers, Selasa (21/1/2025) mengatakan Pemerintah Aceh terlalu murah hati untuk instansi vertikal dengan pemberian dana hibah yang besar. Pasalnya pada saat yang sama, warganya berada dalam kemiskinan. Per September 2024 sebanyak 718,96 ribu orang atau 12,64 persen tercatat sebagai warga miskin. Aceh masih menjadi provinsi termiskin di Pulau Sumatera.
Hafidh mengkritik keras kebijakan Pemerintah Aceh yang terus mengalokasikan dana hibah untuk instansi vertikal. Ia menyebutkan bahwa berdasarkan Pasal 298 Ayat 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pengalokasian dana hibah harus mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah setelah kebutuhan wajib terpenuhi.

“Besarnya alokasi hibah kepada instansi vertikal mengundang pertanyaan publik karena Aceh sendiri sangat bergantung pada dana transfer dari pusat,” kata Hafidh.
Polisi terbesar
Data yang dihimpun oleh LBH Banda Aceh, sepanjang 2017-2024 dana hibah dalam Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA) mengalir ke 15 instansi vertikal diantaranya, kepolisian, kejaksaan, tentara, badan narkotika nasional, hingga badan intelijen.
Dari sekian lembaga vertikal, kepolisian paling besar mendapatkan dana hibah, yakni Rp 113,6 miliar.
Alokasi ini jauh lebih besar dibandingkan instansi lain, seperti Kejaksaan yang menerima Rp83,4 miliar dan TNI yang mendapatkan Rp79,2 miliar.
“Dalam kurun waktu 2017–2024, total APBA Aceh rata-rata mencapai Rp14 triliun per tahun, namun Pendapatan Asli Aceh (PAD) hanya berkisar Rp2,4 triliun. Artinya, Aceh masih sangat bergantung pada dana dari pusat. Dalam situasi seperti ini, mengapa instansi pusat, termasuk polisi, justru menerima hibah besar dari APBA?” ujarnya.
Hafidh juga menyoroti lonjakan anggaran hibah pada tahun-tahun tertentu. Pada 2021, hibah untuk polisi melonjak hingga Rp61 miliar, hampir dua kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya. Anggaran ini kembali meningkat pada 2022, mencapai Rp126,1 miliar, yang merupakan masa akhir jabatan Gubernur Nova Iriansyah.
Menurut Hafidh, alokasi dana tersebut digunakan untuk berbagai keperluan, termasuk pembangunan dan rehabilitasi fasilitas kantor, rumah dinas, hingga fasilitas olahraga.
“Sebanyak 53% dana hibah dialokasikan untuk pembangunan dan rehab kantor, termasuk aula dan fasilitas pendukung lainnya. Sisanya digunakan untuk rehab rumah dinas, fasilitas olahraga seperti lapangan futsal dan lapangan tembak indoor, serta belanja kendaraan dinas,” jelas Hafidh.

“Ketika kita masih menjadi provinsi termiskin di Sumatera, seharusnya prioritas anggaran diarahkan untuk percepatan penurunan angka kemiskinan, bukan memfasilitasi instansi vertikal. Kita tergantung pada pusat, tetapi mengalokasikan dana untuk instansi pusat, ini sangat tidak masuk akal,” tegas Hafidh.
LBH Banda Aceh merekomendasikan agar pemerintah Aceh lebih transparan dalam pengelolaan dana hibah, khususnya kepada instansi vertikal.
“Harus ada evaluasi menyeluruh mengenai kebutuhan sebenarnya dari hibah ini, apakah benar-benar bermanfaat bagi masyarakat Aceh atau hanya menguntungkan instansi tertentu,” kata Hafidh.
Kemiskinan
Masyarakat Transparansi Aceh dan LBH Banda Aceh mengkritik Pemerintah Aceh terhadap kebijakan itu. Menurut mereka seharusnya anggaran daerah diutamakan untuk program pengentasan kemiskinan.
“Selama ini, alokasi anggaran di Aceh belum sepenuhnya berpihak pada rakyat. Jika dana hibah sebesar Rp113,6 miliar saja dialokasikan untuk penguatan ekonomi rakyat, dampaknya akan jauh lebih terasa bagi masyarakat,” ujarnya.
Kedua lembaga ini meminta pemerintah Aceh untuk segera melakukan evaluasi terhadap kebijakan pemberian dana hibah, khususnya kepada instansi vertikal. Mereka juga merekomendasikan transparansi yang lebih baik dalam proses pengelolaan dan pelaporan anggaran hibah.
“Pemerintah Aceh harus memprioritaskan penggunaan APBA untuk kebutuhan yang berdampak langsung pada masyarakat,” kata Hafidh.
“Biar publik bisa lihat. Kita berharap dengan membuka ini, ada dorongan besar dari masyarakat untuk mendorong pemerintah kita, eksekutif, legislatif, untuk menghentikan ini. Kan DPR itu mandatnya di rakyat. Kita akan berharap dengan publikasi ini, orang jadi tahu bahwa ada sekian besar uang Aceh yang dimanfaatkan ke sana, sementara kita masih butuh untuk hal yang prioritas,” lanjutnya.

Hafidh juga menyoroti pengelolaan anggaran daerah yang tidak transparans. Dokumen anggaran suakr diakses, padahal publik perlu terlibat sejak dalam proses penyusunan.
“Pemerintah nggak pernah transparan dalam membuka dokumen penganggaran ini yang seharusnya diwajibkan oleh aturan. Sebelum disahkan ini dibuka dulu ke publik, diminta masukkan, input, saran. Itu yang nggak pernah dibuka. Pemerintah kita itu mengalokasikan uangnya untuk biaya website, domain, dan sebagainya. Tapi itu nggak pernah dimanfaatkan untuk mempublikasi data-data seperti ini. Yang seharusnya diwajibkan oleh aturan, ini dipublikasi dulu sebelum disahkan,” ungkapnya.
Ia juga menjelaskan bahwa konsultasi publik merupakan bagian wajib dalam proses penyusunan anggaran. Namun, tahapan ini hampir tidak pernah dilakukan secara maksimal di Aceh.
Menurut Hafidh, kurangnya transparansi ini membuka ruang untuk potensi penyalahgunaan anggaran.
“Nah, itu yang menguatkan kita pada ini ada ruang main yang mereka tutupi. Karena kita baru tahu kalau ada pembangunan lapangan futsal untuk kejaksaan, ada lapangan tenis untuk instansi yang lain, ada lapangan tembak indoor. Itu setelah penyelesaian anggaran,” ujarnya.