Sri Amalia, yang dikenal dengan nama panggung Lea Amalia, adalah seorang musisi dan penyanyi asal Aceh Barat yang telah menorehkan perjalanan karir menarik di dunia musik Aceh.
Lea memulai karirnya pada tahun 2020 dengan menjadi perwakilan Aceh dalam ajang Liga Dangdut Indonesia . Meski belum berhasil meraih juara, langkah tersebut menjadi pintu awal perjalanan kariernya di dunia musik.
Perjalanan karier Lea kemudian berlanjut saat ia bertemu dengan dua musisi ternama Aceh, Rafli Kande dan Liza Aulia, serta produsernya dari keluarga besar Kasga Record. Kolaborasi dengan musisi muda Aceh, Nazar Apache semakin membuat dia melejit. Bersama mereka, ia mulai melakukan rekaman musik yang dirilis melalui kanal YouTube Kasga Record.
Salah satu karya terbaiknya adalah album The Voice of Aceh Ie Bungong , yang mendapat apresiasi luas di kalangan pecinta musik Aceh.
Lea membagikan mengenai kondisi perekonomian musisi di Aceh kepada Bisnisia.id , Selasa (14/01/2025).
Ia mengatakan bahwa kehormatan yang diterimanya dari hasil manggung cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup dan biaya pendidikan. Kini, dia tercatat sebagai mahasiswa di Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Aceh.
“Alhamdulillah, sekarang saya bisa kuliah dan mengembangkan bakat saya. Dulu saya tidak pernah membayangkan ini bisa terjadi,” ujarnya.
Lihat postingan ini di Instagram
Lea mengungkapkan bahwa kehormatan sekali manggung berkisar antara Rp7 juta hingga Rp10 juta, tergantung pada besaran acara dan kesepakatan dengan panitia. Meski tidak besar, pendapatan tersebut sangat membantu keuangannya. Namun, ia menyadari bahwa kesepakatan manggung tidak datang setiap bulan.
Bagi Lea, aktivitas seni tidak selalu harus dikaitkan dengan aspek ekonomi. Dia menyadari bahwa aktivitas seni di Aceh belum sepenuhnya memberikan jaminan kesejahteraan secara ekonomi.
Menurutnya, seniman memiliki tantangan dan peluang untuk mandiri secara ekonomi, tergantung pada kemampuan masing-masing.
“Kalau ditanya apakah seniman bisa mandiri secara ekonomi, saya belum cukup tahu karena saya baru saja lahir di blantika musik Aceh. Tapi, itu semua tergantung pada para seniman dalam mengelola perekonomian mereka,” jelas Lea.
Ia juga mengungkapkan bahwa dunia seni penuh tantangan, baik secara ekonomi maupun kreativitas. “Seniman itu sejatinya bekerja dengan ikhlas di bidangnya masing-masing. Namun, dunia seni juga keras. Contohnya, penyanyi lokal tidak terlalu sukses dibandingkan penyanyi internasional, mungkin karena karya yang ditampilkan tidak sesuai dengan pasar musik, sehingga kurang diminati,” tambahnya.
Lea menyoroti bahwa industri musik di Aceh belum sepenuhnya mandiri. “Musik di Aceh itu belum menjadi industri. Banyak anggarannya berasal dari pemerintah. Jarang sekali di Aceh mengadakan acara dengan anggaran sendiri tanpa bantuan pemerintah,” ujarnya.
Meski demikian, Lea tetap optimis bahwa musik Aceh dapat berkembang lebih baik lagi di masa depan. Dengan dedikasi dan kerja keras para seniman, ia berharap seni dan budaya Aceh bisa mendapatkan tempat yang lebih baik, baik di tingkat lokal maupun internasional.