Bisnisia.id | Banda Aceh – Dalam kunjungannya ke Aceh, Menteri Kebudayaan Republik Indonesia, Fadli Zon, mengemukakan pentingnya kehadiran kembali bioskop di Aceh untuk mendukung insan kreatif lokal. Pernyataan ini ia sampaikan dalam kuliah umum di Aula Utama Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Aceh, Kota Jantho, Kabupaten Aceh Besar.
Namun, pandangan tersebut mendapat tanggapan kritis dari budayawan sekaligus pembuat film independen, Davi Abdullah, M.Sn. Menurut Davi, pernyataan Fadli Zon menunjukkan kurangnya pemahaman terhadap tren global dan perubahan budaya di era digital.
“Sepertinya Menteri Kebudayaan belum sepenuhnya memahami perkembangan zaman. Saat ini, kita berada di era digital di mana mayoritas orang lebih memilih menikmati film melalui platform streaming di rumah mereka daripada harus pergi ke bioskop,” jelas Davi yang juga alumnus Institut Kesenian Jakarta (IKJ).
Ia menambahkan bahwa industri hiburan telah mengalami transformasi besar dengan hadirnya layanan OTT ( Over The Top ), yang memungkinkan masyarakat mengakses tayangan secara mudah melalui perangkat digital.
“Orang-orang sekarang berlomba menikmati hiburan di rumah dengan home cinema atau layanan streaming. Ini adalah perubahan besar yang mendunia, mengubah cara kita mengonsumsi film dan hiburan,” ujar Davi.
Davi juga menarik bahwa menghadirkan bioskop di Aceh tidak bisa dianggap sebagai solusi utama untuk mendukung budaya dan perfilman di daerah tersebut. Menurutnya, jika hanya fokus pada pembangunan bioskop, maka kebijakan itu cenderung mundur dan kurang relevan dengan kenyataan saat ini.
“Tentu saja, bioskop dan nilai-nilai syariat Islam itu penting. Namun, kita juga harus menerima kenyataan bahwa saat ini banyak orang lebih memilih menonton film melalui platform digital karena lebih praktis dan fleksibel,” kata Davi.

Ia menjelaskan bahwa perkembangan platform digital tidak hanya memberikan kebebasan bagi penonton, tetapi juga membuka peluang lebih besar bagi pembuat film untuk menjangkau audiens yang lebih luas, baik di tingkat nasional maupun internasional.
“Platform OTT memberikan akses yang lebih mudah bagi masyarakat sekaligus menawarkan distribusi yang lebih luas bagi karya-karya kreatif. Ini adalah peluang besar untuk mendukung perkembangan film di Indonesia, termasuk Aceh,” jelasnya.
Davi berharap agar kebijakan di sektor budaya dan perfilman Aceh ke depan bisa lebih berpihak pada perkembangan teknologi. Ia juga menginginkan agar kebijakan ini mengakomodasi pola konsumsi masyarakat yang telah berubah drastis.
Lihat postingan ini di Instagram
“Industri film harus mengikuti perkembangan teknologi dan kebiasaan digital. Hal ini dapat menjadi peluang untuk membawa film Indonesia, khususnya karya dari Aceh, lebih dikenal di kancah global,” tuturnya.
Davi juga mengingatkan bahwa pemajuan budaya Aceh tidak hanya berkutat pada modernisasi semata. Sebaliknya, ia mendorong agar kebijakan budaya tetap menjaga nilai-nilai tradisional yang kaya, sambil beradaptasi dengan unsur modern.
“Aceh perlu memperkuat identitas budayanya dengan melestarikan seni dan tradisi, sekaligus memanfaatkan kebudayaan sebagai elemen dalam pembangunan sosial dan ekonomi,” tutup Davi.