Bisnisia.id | Redelong – Intensitas hujan tinggi sepekan terakhir membuat transaksi keuangan perdagangan kopi Gayo tersendat-sendat atau tidak lancar terutama ditingkat petani kopi, mayoritas para toke (pengepul) kopi tidak membayar kontan kopi yang mereka beli dari petani.
Meski harga kopi Arabika Gayo gelondong ditingkat petani masih relatif stabil di harga Rp17.000 perbambu, namun para petani keluhkan para toke tidak membayar kontan kopi mereka.
“ Maklumlah, banyak kebutuhan, tapi para toke mengatakan uang belum keluar, karena kopi tidak kering, karena selalu hujan, jadi ya bagaimana lagi, kami harus menunggu meski banyak keperluan” kata Turasdi, salah seorang petani di Bener Meriah, Selasa, (14/1/2025).
Para petani tetap memetik kopi meski di musim penghujan “Kalau tidak dipetik, akan rontok dan gugur ke tanah jika terlambat dipanen” kata Turasdi.
Baca juga: Festival Kopi Koetaradja 2024, Perayaan Budaya dan Kopi di Banda Aceh
Tersendaknya uang transaksi hasil panen kopi ditingkat petani dan para pengepul seringkali kerap terjadi dimusim panen raya yang biasanya di musim penghujan. Sementara, mayoritas para pengepul kopi dan petani masih mengandalkan sinar matahari dalam proses pengolahan kopi dari kopi gelondong menjadi biji kopi. Proses ini harus melewati penjemuran beberapa kali.
Saat panen raya, para toke kerap berhutang hingga bisa mencapai puluhan juta ke petani yang punya kebun luas dengan panen yang melimpah, apalagi ketika harga kopi sedang tinggi. Uniknya, utang piutang ini hanya berdasarkan saling percaya antara petani dan toke dan akan selalu terbayar. Terkadang, hanya berdasarkan catatan di secarik kertas kumal yang berisi jumlah kopi dan harga serta total pembayaran tidak ada bon, kwitansi atau invoice bermaterai.
Aman Adi, salah seorang Toke mengatakan kalau musim penghujan, mereka beresiko rugi karena kopi yang mereka olah tidak kering, bisa-bisa melapuk.
”Kalau lama hujan dan tidak cerah, resikonya, kopi bisa melapuk, kami rugi, tidak bisa dijual ke toke besar, kalaupun bisa dijual harganya akan turun drastis. Tidak ada uang kontan, sementara kopi dari petani terus berdatangan apalagi kalau sudah langganan tetap, jadi ya kita ngutang uang kopi dulu ke petani, sampai kopi kering” kata Aman Toni.

Sebagian Toke ada yang menjemur kopi yang mereka olah keluar daerah di kawasan yang tidak hujan, seperti ke daerah pesisir atau ke tempat yang berhawa panas. Mereka mengangkut kopi mereka dengan mobil pickup atau truk dan menjemurnya disana dengan harapan kopi mereka cepat kering dan siap dijual kembali.
Kebutuhan Fasilitas Pengering Kopi
Masalah ini sejatinya bisa diatasi dengan memakai fasilitas penjemuran kopi dengan lantai permanen. “ Kita sebenarnya, bisa mengatasi kendala ini, kalau yang punya modal besar bisa membuat tempat atau penjemuran kopi tapi bagi yang enggak punya modal ya harus pasrah dan bergantung kepada cuaca” katanya.
Fasilitas penjemuran kopi yang dimaksud adalah, Dry House atau Green House pengeringan biji kopi dengan atap plastik UV dan lantai jemur permanen. Dengan adanya fasilitas ini, kopi akan lebih cepat kering, kalau hari cerah dan kopi juga tetap bisa kering meski cuaca sedang musim penghujan.
Jika mengandalkan sinar matahari proses pengeringan kopi dapat memakan waktu berhari-hari. Bahkan jika cuaca tidak menentu dapat memakan waktu lebih dari seminggu, Ini belum lagi kalau ketika hari sedang cerah, lalu tiba-tiba hujan dan kopi belum sempat diangkat lantai penjemuran, biji kopi akan kembali basah dan proses penjemuran mesti diulang lagi.
Ia berharap pemerintah daerah memprogramkan untuk banyak membangun fasilitas penjemuran kopi atau dry house yang bisa diakses oleh para petani dan para toke-toke dengan modal kecil.
“Kalau itu ada dan banyak, kan bagus bisa mendukung usaha di bidang kopi, perdagangan kopi bisa lancar, kan daerah juga untung, lancar retribusi dari kopi”kata Aman Toni.
Pengeringan kopi pasca panen adalah kendala yang dihadapi oleh pelaku usaha kopi di Dataran Tinggi Gayo. Kopi tidak bisa disimpan terlalu lama, karena akan menurunkan kualitas, mutu dan aroma khas kopi Gayo, bahkan tentu saja bisa membusuk.
Tak hanya itu, akibat dari terhambatnya proses pengeringan kopi ini juga seringkali membuat harga kopi turun khususnya ditingkat petani, terutama di musim panen raya, karena terkadang para toke terpaksa membanting harga, karena khawatir resiko yang mereka hadapi karena faktor cuaca.
Kebutuhan fasilitas penjemuran untuk proses pengeringan kopi yang tersedia disentra-sentra kawasan penghasil kopi di Dataran Tinggi Gayo, mestinya menjadi program proritas pemerintah daerah di Aceh Tengah dan Bener Meriah, termasuk membuat inovasi-inovasi penjemuran kopi untuk membantu para petani sebagai daerah perkebunan terbesar Arabika kopi Gayo terluas di Indonesia dan telah menjadi salah satu komoditi primadona di dunia.