Bisnisia.id|Jakarta –Pemerintah akan memangkas harga rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) hingga Rp10,5 juta per unit mulai Desember 2024. Pemangkasan ini dilakukan melalui penghapusan dua pungutan, yakni Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Kebijakan ini bertujuan mendukung program 3 juta rumah per tahun, salah satu prioritas Presiden Prabowo Subianto.
Penghapusan PBG dan BPHTB akan diatur melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) yang ditandatangani Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Maruarar Sirait, dan Menteri Pekerjaan Umum (PU) Dody Hanggodo. Kriteria penerima manfaat ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 22/Kpts/M/2023, dengan batas penghasilan MBR yang berbeda per wilayah.
Contoh penghematan pada rumah tipe 36 mencapai Rp10,5 juta, terdiri dari penghapusan BPHTB sebesar Rp6,2 juta dan PBG sebesar Rp4,3 juta. SKB ini akan diteruskan melalui Peraturan Kepala Daerah (Perkada) meskipun berdampak pada berkurangnya Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Program 3 Juta Rumah juga didukung berbagai pihak, termasuk sektor swasta dan Bank Indonesia (BI). BI memberikan insentif likuiditas serta kelonggaran Loan-to-Value (LTV), sementara Kementerian PU mendukung dengan penyediaan infrastruktur dasar. Kebijakan ini diharapkan meningkatkan akses MBR ke perumahan layak dan mengatasi backlog perumahan di Indonesia.
Mengutip berita CNN Indonesia Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengatakan kriteria rumah MBR yang mendapatkan pembebasan retribusi tersebut diatur dalam Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 22/Kpts/M/2023. Peraturan itu mengatur batasan penghasilan serta luas bangunan untuk rumah umum dan rumah swadaya.
Berdasarkan aturan itu, penghasilan maksimal MBR diatur berdasarkan wilayah. Untuk wilayah Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Maluku, Maluku Utara, Bali, NTT, dan NTP, kategori tidak kawin maksimal pendapatan Rp7 juta per bulan, kategori kawin maksimal pendapatan Rp8 juta per bulan, kategori peserta Tapera maksimal pendapatan Rp8 juta per bulan.
Sementara bagi MBR di wilayah Papua, Papua Barat, Papua Tengah, Papua Selatan, Papua Pegunungan, dan Papua Barat Daya, kategori tidak kawin maksimal pendapatan Rp7,5 juta per bulan, kategori kawin maksimal pendapatan Rp10 juta per bulan, kategori peserta Tapera maksimal pendapatan Rp10 juta per bulan.
Aturan itu juga berlaku untuk pembelian dan pembangunan rumah luas 36 meter persegi untuk rumah umum dan rumah susun serta rumah luas 48 meter persegi untuk pembangunan rumah swadaya atau rumah tapai yang dibangun masyarakat.
Secara rinci, Tito memberi contoh harga rumah tipe 36 dapat dikurangi hingga Rp10,5 juta dengan diterapkannya aturan ini. “Dengan adanya kebijakan ini, maka potensi untuk BPHTB dihapuskan itu nilainya untuk rumah tipe 36 lebih kurang Rp6,2 juta. Kemudian untuk izin PBG akan dibebaskan sebanyak Rp4,3 juta. Jadi untuk rumah tipe 36 sebetulnya bisa dihemat, dikurangi lebih kurang Rp10,5 juta,” ujar Tito dalam konferensi pers di Kementerian Dalam Negeri, Jakarta Pusat, Senin (25/11).
Nantinya, SKB tersebut diteruskan melalui Peraturan Kepala Daerah (Perkada). Adanya aturan itu juga secara otomatis mengurangi Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sebab, BPHTB dan PBG merupakan retribusi yang masuk dalam PAD.
“Saya juga sudah menyampaikan kepada teman-teman daerah supaya mereka mempelajari betul definisi masyarakat berpenghasilan rendah. Karena sebetulnya inilah PAD bagi mereka. Retribusi itu PAD tapi spesifik hanya untuk MBR,” tutur Tito lebih lanjut.