Bisnisia.id | Banda Aceh – Cuaca buruk yang melanda perairan Aceh beberapa waktu terakhir berdampak terhadap hasil tangkapan nelayan. Akibatnya harga ikan ikut melambung.
Jamaluddin (52), seorang pedagang ikan eceran di Pelabuhan Lampulo, Banda Aceh, yang telah berprofesi sejak 2008, mengungkapkan bahwa kondisi ini membuat pasokan ikan menurun drastis, sehingga harga ikan melambung tinggi.
“Biasanya, tongkol ukuran sedang bisa saya dapatkan seharga Rp10.000–Rp12.000 per kilogram. Sekarang, harganya naik dua kali lipat jadi Rp20.000. Bahkan, untuk jenis ikan tuna atau ikan super lainnya, harganya bisa mencapai Rp35.000 per kilogram kalau dijual ke konsumen,” ujar Jamaluddin saat ditemui di lapak dagangnya, Jumat (17/1/2025).
Baca juga: Awal Tahun, Harga Bawang dan Cabai di Aceh Barat Melonjak
Jamaluddin menjelaskan, cuaca buruk yang menyebabkan angin kencang dan gelombang tinggi di laut menjadi faktor utama berkurangnya hasil tangkapan nelayan.
“Banyak nelayan yang tetap melaut, tapi hasil tangkapan mereka jauh berkurang. Ada yang berangkat pagi pulang sore, bahkan ada yang melaut hingga 20 hari. Namun, hasilnya tetap tidak memadai,” jelasnya.
Selain itu, pasokan ikan dari luar Aceh juga tidak mampu menutupi kebutuhan lokal. Jenis ikan seperti tongkol, tuna, dan gembung yang biasanya menjadi andalan konsumen kini menjadi barang langka di pasar. Akibatnya, harga melonjak tajam, memberatkan konsumen sekaligus pedagang kecil seperti Jamaluddin.
“Kalau kami beli dari nelayan saja sudah mahal, otomatis harga jual ke konsumen juga naik. Misalnya, ikan tuna sekarang minimal Rp30.000 di tingkat pedagang kecil, sementara ke konsumen bisa sampai Rp35.000. Itu pun tergantung kualitas ikannya,” katanya.
Kenaikan harga ikan ini turut dikeluhkan oleh konsumen. Nurlina (37), seorang ibu rumah tangga, merasa terbebani dengan lonjakan harga ikan yang terus terjadi.
“Biasanya saya beli tongkol Rp20.000 sudah dapat untuk makan satu keluarga. Sekarang harganya bisa dua kali lipat. Kalau seperti ini, kami harus cari alternatif lain seperti beli tahu atau tempe, karena ikan udah mahal sekarang,” ungkap Nurlina.
Baca juga: Permintaan Tinggi, Harga Cabe Nano Melambung di Bener Meriah
Ia juga menambahkan, kenaikan harga ikan membuat pengeluarannya membengkak.
“Harga kebutuhan pokok sudah naik, sekarang ikan juga naik. Jadinya harus lebih pintar mengatur uang belanja supaya semua cukup dan terpenuhi,” katanya.
Jamaluddin, yang telah berjualan ikan selama lebih dari 15 tahun, mengaku kondisi ini sangat memberatkan.
“Kami pedagang kecil hanya bisa mengikuti harga pasar. Kalau ikan dari nelayan sudah mahal, kami tidak bisa banyak mengambil untung. Selisih harga jual ke konsumen paling hanya Rp5.000 per kilogram,” ungkapnya.
Ia juga menambahkan bahwa cuaca buruk tidak hanya memengaruhi ketersediaan ikan, tetapi juga daya beli masyarakat.
“Konsumen sekarang lebih pilih-pilih karena harga mahal. Kalau biasanya mereka beli 2 kilogram, sekarang cuma beli 1 kilogram saja,” pungkasnya.
Pelabuhan Lampulo merupakan sentra produksi dan perdagangan ikan di Provinsi Aceh. Sektor perikanan memberikan kontribusi 5,15 persen terhadap produk domestik regional bruto (PDRB) Aceh. Sebesar 12 persen penduduk Aceh bekerja di sektor perikanan. Adapun jumlah nelayan Aceh 96.813 orang.
Dalam buku laporan kinerja Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Aceh disebutkan, produksi perikanan tangkap setiap tahun sejak 2017 hingga 2022 terus meningkat. Pada 2018 produksi perikanan Aceh 288.034 ton dan menjadi 309.073 ton pada 2022.
Sebagian ikan dari Aceh diekspor ke luar negeri, yakni Jepang, Amerika Serikat, China, Eropa, dan Arab Saudi. Catatan dari DKP Aceh tahun 2022 menyebutkan, nilai ekspor ikan mencapai 15,92 juta dollar AS dengan total ekspor 3.417 ton. Adapun untuk pasar domestik, perikanan Aceh merambah Jakarta, Surabaya, dan Sumatera Utara.
Potensi besar Aceh didukung oleh keberadaan dua sisi pantai di provinsi ini, yakni pantai timur dan barat dengan garis pantai sepanjang 2.666 kilometer (km). Perairan Aceh menyimpan potensi perikanan tangkap 272.000 ton per tahun. Potensi ini seharusnya dapat diolah lebih baik dan ditingkatkan untuk mendongkrak kesejahteraan warga.
Harga bahan dapur fluktuasi
Sementara itu harga bahan dapur seperti cabai, tomat, bawang fluktuasi. Harga cabai merah misalnya naik dari Rp45.000 menjadi Rp55.000 per kilogram, sementara cabai hijau tetap stabil di Rp30.000 per kilogram.
Beberapa komoditas justru mengalami penurunan harga. Tomat turun dari Rp17.000 menjadi Rp10.000 per kilogram, dan telur ayam dari Rp58.000 menjadi Rp52.000 per papan. Harga bawang merah tetap stabil di Rp40.000 per kilogram, sedangkan beras turun dari Rp115.000 menjadi Rp110.000 per karung.
Marzuki, seorang pedagang, berharap harga bisa segera stabil. “Penurunan harga beras sedikit membantu, tapi pembeli masih memikirkan mahal,” katanya. Siti, salah satu pembeli, mengaku harus mengurangi pembelian cabai merah karena kenaikannya memberatkan.
Baik pedagang maupun pembeli berharap situasi segera membaik, dengan pasokan dan distribusi yang stabil agar harga tetap terjangkau.