Bisnisia.id | Banda Aceh – Upaya penerapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Banda Aceh terus mengalami peningkatan, namun masih menghadapi tantangan besar, khususnya terkait perilaku perokok anak dan perempuan. Muazzinah Yakob, Direktur Eksekutif Aceh Institute, mengungkapkan data dan fenomena menarik dalam pelaksanaan kebijakan ini.
“Pada 2019, tingkat kepatuhan terhadap kebijakan KTR hanya 21,1 persen. Namun, pada 2023 angka itu meningkat menjadi 45 persen,” jelas Muazzinah.
Peningkatan ini dinilai signifikan berkat edukasi yang masif kepada masyarakat melalui berbagai jalur, seperti puskesmas, tim Satuan Tugas KTR, dan pemerintah daerah. Namun, di balik capaian tersebut, Banda Aceh masih menghadapi tantangan serius. Fenomena perokok anak semakin marak dan membutuhkan perhatian khusus.
“Kami sering melihat anak-anak merokok di area publik, terutama di kawasan jembatan atau jalan-jalan tertentu. Ini tidak bisa dianggap enteng,” ujar Muazzinah.
Muazzinah memaparkan bahwa perilaku merokok anak sering kali berawal dari lingkungan keluarga.
“Ketika anak disuruh membeli rokok oleh orang tua, secara tidak langsung mereka belajar tentang harga, merek, dan cara membeli rokok,” katanya.
Selain itu, teman sebaya dan pengaruh lingkungan juga memainkan peran besar.
“Anak-anak sering kali mencoba merokok karena rasa penasaran atau dorongan dari teman. Apalagi, iklan rokok yang inovatif dengan rasa-rasa unik juga menjadi daya tarik tersendiri,” tambahnya.
Muazzinah mencontohkan situasi di pesantren yang pernah diamati oleh Aceh Institute.
“Kami pernah menemukan santri yang merokok secara sembunyi-sembunyi. Ketika kasus ini terungkap, orang tua mereka menangis karena merasa gagal mendidik anak-anaknya,” ungkapnya.
Selain perokok anak, fenomena lain yang mulai terlihat adalah meningkatnya jumlah perokok perempuan di Banda Aceh.
“Di beberapa kafe, kami sering menemukan perempuan yang merokok atau nge-vape seperti bentuk fresh care. Ini bukan sekadar tren, tetapi juga cerminan perubahan pola sosial,” ujar Muazzinah.

Menurutnya, kebijakan KTR harus merangkul semua kelompok, termasuk perempuan.
“Hak perokok tetap dihormati, tetapi hak nonperokok juga harus dijaga. KTR hadir untuk menciptakan keseimbangan ruang antara kedua kelompok ini,” jelasnya.
Meski kebijakan KTR telah berjalan dengan baik, tantangan besar tetap ada.
“Pasar tradisional dan warung kopi masih menjadi titik lemah dalam penerapan KTR. Meskipun papan tanda sudah dipasang, banyak yang tidak patuh,” kata Muazzinah.
Selain itu, iklan rokok ilegal juga menjadi perhatian serius.
“Kami sering menemukan iklan rokok yang dipasang di area KTR, bahkan iklan produk ilegal yang merugikan pemerintah dan masyarakat,” tegasnya.
Aceh Institute bersama Pemerintah Kota Banda Aceh merencanakan langkah lebih konkret ke depan.
“Kami berharap pada 2025, implementasi KTR bisa lebih maksimal. Pemimpin seperti Ibu Iliza, yang mencetuskan KTR di Banda Aceh, dapat membawa semangat baru untuk memperkuat kebijakan ini,” ujar Muazzinah.
Dia juga menegaskan bahwa kepala daerah di Aceh perlu berkomitmen pada kesehatan masyarakat.
“Terlepas dari apakah mereka perokok atau tidak, setiap pemimpin pasti menginginkan masyarakatnya sehat dan produktif,” pungkasnya.