ISPO dan Pertaruhan Masa Depan Sawit Aceh

Lima tahun setelah Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia diterbitkan, masih ada ratusan perusahaan yang belum memiliki ISPO. Sertifikasi tersebut bukan hanya demi kepentingan perusahaan, tetapi juga sebagai jaminan hak pekerja, pelestarian lingkungan, dan peningkatan pendapatan negara.

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perkebunan per Juni 2024, sebanyak 846 perusahaan sawit di Indonesia belum mengantongi ISPO. Data ini dicatat dalam Sistem Informasi Perizinan Perkebunan (Siperibun). Sementara itu, jumlah perusahaan sawit yang sudah memiliki ISPO baru mencapai 794 perusahaan. Artinya, jumlah perusahaan yang belum memiliki ISPO lebih banyak dibandingkan yang sudah bersertifikat.

Di Aceh, sebanyak 37 perusahaan kelapa sawit belum mendapatkan ISPO. Perusahaan-perusahaan tersebut tersebar di sembilan kabupaten/kota. Beberapa di antaranya bahkan telah mengantongi izin operasional cukup lama. Misalnya, di Aceh Timur terdapat PT Aceh Raya Copindo yang memperoleh izin sejak 2010, tetapi hingga kini belum bersertifikat ISPO.

IMG 3703
Potret Perkebunan Sawit di Seumadam, Aceh Tamiang, pada Senin, (16/12/2024). Foto: Sultan/Bisnisia.id

Di Nagan Raya, terdapat perusahaan sawit Kallista Alam yang memperoleh izin operasional sejak 1997. Sementara itu, di Aceh Tamiang ada Sinar Kaloy Perkasa Indo yang mendapatkan izin operasional sejak 2007.

Pemerintah telah mewajibkan seluruh perusahaan sawit di Indonesia untuk memiliki ISPO pada tahun 2025. Jika tidak, ancaman berat berupa pencabutan izin operasional siap diberlakukan.

Kepala Bidang Pengolahan dan Pemasaran Perkebunan (P2Bun) Dinas Pertanian dan Perkebunan (Distanbun) Aceh, Cut Regina, menyatakan bahwa kepatuhan perusahaan terhadap aturan untuk mencapai ISPO masih rendah. Ia menilai banyak perusahaan tidak serius dalam mengurus sertifikasi tersebut.

“Meski syaratnya harus dipenuhi cukup banyak, jika ada kemauan yang kuat, ISPO seharusnya bisa diraih,” ujarnya.

Cut juga menyebutkan bahwa hingga saat ini belum ada sanksi tegas yang diterapkan kepada perusahaan. Pemerintah hanya memberikan surat peringatan.

“Kalau perusahaan tetap tidak patuh, dilemanya adalah tandan buah segar (TBS) masyarakat tidak tahu akan dibawa ke mana, karena pabrik kelapa sawit (PKS) terbatas,” tambahnya.

ISPO merupakan standar usaha pengelolaan kelapa sawit berkelanjutan yang memperhatikan aspek ekonomi, sosial budaya, dan ekologi. Sertifikasi ini menjadi legitimasi bahwa perusahaan telah menerapkan prinsip keberlanjutan, termasuk bebas deforestasi, bebas konversi gambut, dan tanpa eksploitasi (no-deforestation, no-peat, no-exploitation/NDPE).

WhatsApp Image 2025 01 06 at 20.29.48

WhatsApp Image 2025 01 06 at 20.29.50

WhatsApp Image 2025 01 06 at 20.29.50 1

Cut Regina menegaskan bahwa perusahaan yang tidak memiliki sertifikat ISPO juga merugikan dirinya sendiri. “Mereka akan menghadapi kendala besar saat memasarkan minyak kelapa sawit mentah (CPO) ke pasar internasional, harganya bisa jatuh,” jelasnya.

Buah sawit yang tidak memenuhi standar ISPO tidak dapat bersaing di pasar global. Jalur pemasaran CPO akan terganggu jika standar tidak terpenuhi.

Sebagai perwakilan pemerintah, Cut berharap seluruh perusahaan kelapa sawit, termasuk kebun rakyat di Aceh, segera mendapatkan sertifikasi ISPO.

Dengan demikian, pengelolaan sawit yang berkelanjutan dapat terwujud, memberikan dampak positif bagi lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

“Jika perusahaan patuh terhadap regulasi, tidak hanya meningkatkan produktivitas dan efisiensi perusahaan, tetapi juga membawa dampak positif bagi kebun masyarakat di sekitarnya. Program CSR yang dilaksanakan dengan baik dapat membantu pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar perkebunan,” ucap Cut Regina.

Potensi Besar, Tantangan Besar
Berdasarkan dokumen Roadmap Kelapa Sawit Berkelanjutan Aceh 2024-2045 , luas perkebunan kelapa sawit di Aceh mencapai 470.000 hektar yang tersebar di 13 kabupaten/kota sentra produksi.

Gambar WhatsApp 2024 11 22 pukul 10.30.41 37289775
Aktivitas di perkebunan sawit. Foto: SLPI

Sebesar 52 persen dari total luas tersebut merupakan perkebunan rakyat, sementara 48 persen dimiliki oleh perusahaan. Sebagian besar perkebunan rakyat belum memiliki sertifikasi ISPO.

Dalam setahun, Aceh memproduksi minyak kelapa sawit ( crude palm oil /CPO) sebanyak 966.000 ton, hampir mencapai 1 juta ton. Namun produktivitas sawit Aceh masih rendah, yakni hanya 2.838 ton CPO per hektar per tahun, sedangkan rata-rata nasional mencapai 3.745 ton CPO per hektar per tahun.

Masalah lainnya adalah CPO dari Aceh diekspor ke luar negeri melalui Pelabuhan Belawan di Sumatera Utara. Minimnya infrastruktur dan ketatnya persaingan dalam tata niaga menyebabkan Aceh belum mampu mengirimkan minyak sawit langsung dari pelabuhannya sendiri. Kondisi ini mengakibatkan kerugian ekonomi sekaligus menyulitkan proses pendataan.

Baca juga:  Majelis Ekonomi PDA Aceh Selatan Gagas Usaha Rumah Sehat Aisyiyah

Lebih memprihatinkan, tidak tersedia data konkret mengenai kontribusi sektor sawit terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Aceh. Padahal, ratusan ribu orang menggantungkan hidup di sektor kelapa sawit.

Wakil Sekretaris Jenderal Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO), Fadhli Ali, berasumsi bahwa setiap satu hektar lahan kelapa sawit dapat mempekerjakan minimal dua orang. Dengan luas lahan mencapai 470.000 hektar, sektor ini telah menyerap tenaga kerja sebanyak 940.000 orang, atau sekitar 17,09 persen dari jumlah penduduk Aceh yang mencapai 5,5 juta jiwa. Artinya, kelapa sawit menjadi sandaran hidup sebagian besar masyarakat Aceh.

WhatsApp Image 2025 01 07 at 14.11.52
Perkebunan sawit di Nagan Raya, Aceh. Foto Bisnisia.id/Shinta Rizki Amanda

Mengapa Harus ISPO?
Kelapa sawit berkelanjutan memberikan dampak positif bagi perusahaan, petani, lingkungan, pekerja, serta daerah dan negara. Sertifikasi ISPO menjamin bahwa perusahaan dan petani menerapkan sistem perkebunan yang berkelanjutan.

Bagi perusahaan, ISPO memberikan jaminan bahwa CPO yang dihasilkan bersih dari prinsip NDPE ( no-deforestation, no-peat, no-exploitation ), sehingga meningkatkan daya tawar di pasar global. Selain itu, perusahaan juga akan lebih mudah mengakses pembiayaan dari lembaga keuangan.

Dari sisi lingkungan, ISPO menunjukkan komitmen untuk menjaga kelestarian alam, termasuk menghindari penambahan hutan dan melindungi kawasan dengan nilai konservasi tinggi. Dengan demikian, daya dukung lingkungan tetap terjaga, konflik dengan satwa lindung dapat dihindari, serta risiko bencana ekologi dapat diminimalkan.

Sertifikasi ISPO juga mempermudah pendataan lahan hak guna usaha (HGU) milik perusahaan maupun petani swadaya. Hal ini memungkinkan pemungutan pajak bumi dan bangunan (PBB) dari kebun produksi serta lahan HGU menjadi lebih terorganisasi.

Selain itu, ISPO mendukung pengelolaan pajak lainnya seperti pajak pertambahan nilai (PPN), pajak penghasilan (PPh) dari pekerja, hingga pendataan dana bagi hasil sawit yang lebih tertata.

Petani sawit ebtke.esdm .go .id
Ilustrasi petani sawit. Foto hebtke.esdm.go.id

Sekretaris Umum Pusat Riset Sawit dan Kelapa Universitas Syiah Kuala (USK), Irfan Zikri, menyatakan bahwa ISPO bukan sekedar syarat administratif, tetapi juga indikator komitmen perusahaan dalam menjaga ekosistem dan tata kelola industri sawit. Pasar global kini semakin menuntut produk yang bersertifikasi sebagai bukti keinginan.

“Tanpa ISPO, akses perusahaan ke pasar internasional akan sangat terbatas, bahkan bisa terhambat,” ujar Irfan.

Menurutnya, pasar internasional saat ini sudah mampu melacak asal-usul minyak sawit yang menjanjikan.

“Traceability atau penelusuran asal sawit menjadi isu krusial. Beberapa tahun yang lalu, sawit dari Aceh sulit diterima pasar internasional karena dianggap tidak memenuhi standar. Padahal, meski sawit tersebut dijual ke Riau, tetap bisa terdeteksi asalnya dari Aceh,” tambah Irfan.

Sebagai upaya mendukung keinginan industri sawit di Aceh, Pusat Riset Sawit dan Kelapa USK aktif memberikan pendampingan kepada pemerintah daerah dalam menyusun Rencana Aksi Daerah Kelapa Sawit Berkelanjutan (RADKSB).

“Kami fokus pada penelitian dan pendampingan dalam perancangan dokumen, terutama terkait produktivitas, efisiensi, dan menentukan standar keinginan. Kolaborasi dengan pemerintah, swasta, dan masyarakat menjadi kunci untuk mencapai target sertifikasi ISPO. Sebab, sawit ini secara ekonomi memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap pendapatan daerah,” jelas Irfan.

Irfan berharap dukungan dari berbagai pihak dapat mendorong perusahaan sawit di Aceh untuk segera memenuhi kewajiban sertifikasi ISPO.

“ISPO bukan hanya soal regulasi, tapi juga masa depan industri sawit kita di pasar global. Sertifikasi ini memberikan jaminan kepada pasar bahwa sawit yang dijual sudah memenuhi standar mutu,” tutupnya.

Yang lebih buruk lagi adalah sawit Aceh tanpa ISPO berpotensi dicap sebagai produk ‘pasar gelap’ atau bahkan dianggap ilegal. Jika ini terjadi, kerugian tidak hanya dirasakan oleh perusahaan, tetapi juga oleh petani, pekerja, dan daerah.

ISPO sebagai Tuntutan Global
Wakil Ketua Umum Bidang Investasi dan Perizinan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Aceh, TAF Haikal, mengatakan sertifikasi ISPO bukan hanya tuntutan pasar, tetapi juga bagian dari strategi untuk menjaga posisi Indonesia di panggung global.

Baca juga:  Pj Gubernur Safrizal Tekankan Pentingnya Kolaborasi dalam Penanggulangan Risiko Bencana di Aceh

“ISPO adalah kewajiban dalam konteks perkebunan, khususnya sawit. Sebagai salah satu penghasil dan pengekspor CPO terbesar di dunia, Indonesia memiliki tanggung jawab untuk mengikuti standar global,” ujar TAF Haikal.

WhatsApp Image 2025 01 08 at 17.04.30
Wakil Ketua Umum Bidang Investasi dan Perizinan Kamar Danang dan Industri (Kadin) Aceh, TAF Haikal. Foto Bisnisia.id/Raudhah

Saat ini, sekitar 90 persen produksi kelapa sawit Indonesia diekspor ke pasar internasional. Oleh karena itu, memastikan kelangsungan produk melalui sertifikasi ISPO menjadi langkah penting untuk mempertahankan daya saing di pasar global.

Namun penerapan ISPO menghadapi tantangan besar, terutama bagi petani kecil dan pengusaha menengah ke bawah. Haikal mengungkapkan bahwa persyaratan seperti legalitas lahan, pengelolaan lingkungan, dan keinginan sosial sulit dipenuhi oleh petani kecil, terutama yang memiliki lahan di bawah lima hektar atau lahan adat.

“Petani kecil sering terkendala karena mereka tidak langsung mengekspor produknya, melainkan melalui rantai pasar yang panjang,” jelasnya.

Kadin Aceh mendorong kolaborasi antara perusahaan besar, pemerintah, dan pengusaha kecil untuk mengatasi kendala ini. Perusahaan besar yang sudah bersertifikasi ISPO diharapkan membantu petani kecil memahami dan memenuhi standar yang diperlukan.

“Ini adalah tanggung jawab bersama untuk menjaga pasar global dan keinginan industri sawit,” tegas Haikal.

Haikal juga memperingatkan bahwa kegagalan memenuhi standar ISPO dapat berdampak serius bagi industri sawit. Produk sawit tanpa sertifikasi berisiko dianggap sebagai pasar gelap dan dilarang masuk pasar internasional.

“ISPO memastikan produk sawit memenuhi kriteria lingkungan, sosial, dan administrasi. Jika standar ini tidak terpenuhi, produk kita bisa masuk daftar hitam di pasar global, yang tentunya merugikan pengusaha dan daerah,” paparnya.

Sebagai wadah pengusaha di Aceh, Kadin berkomitmen membantu anggotanya, termasuk petani kecil, untuk memenuhi sertifikasi ISPO. Kadin juga bekerja sama dengan asosiasi seperti Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) dalam mendukung proses pendampingan.

Peran GAPKI dan Pemerintah
Dihubungi terpisah, Sekretaris Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Aceh, Fakhri Rahim, mengatakan bahwa tugas memastikan keinginan proses ISPO berada pada Dinas Pertanian dan Perkebunan (Distanbun) Aceh.

“Itu tupoksi Distanbun Aceh yang menangani ISPO. Untuk informasi lebih lanjut, silakan menghubungi mereka,” ujar Fakhri Rahim melalui pesan singkat.

Meski demikian, Fakhri menegaskan bahwa GAPKI Aceh terus mendukung upaya perusahaan dalam memenuhi persyaratan sertifikasi ISPO. Sebagian besar anggota GAPKI Aceh telah memenuhi standar ini, meskipun beberapa perusahaan masih dalam tahap mempersiapkan dokumen untuk audit.

WhatsApp Image 2025 01 07 at 14.11.35
Pembibitan kelapa sawit di Kabupaten Nagan Raya, Aceh. Foto Bisnisia.id/Shinta Rizki Amanda

“Sebagian besar sudah mendapatkan sertifikasi ISPO. Untuk yang belum, mereka sedang menyiapkan dokumen-dokumen pendukung untuk audit. Proses ini membutuhkan waktu dan koordinasi dengan pihak-pihak terkait,” kata Fakhri.

Bagi pekerja ISPO adalah jaminan pemenuhan hak pekerja tidak diabaikan. Sekretaris ASPEK Indonesia Provinsi Aceh, Muhammad Arnif, menekankan pentingnya sertifikasi ISPO untuk melindungi pekerja sawit di Aceh. ISPO tidak hanya mendukung kepunahan lingkungan, tetapi juga menjamin kesejahteraan pekerja dan legalitas operasional perusahaan sawit.

“Tanpa ISPO, perusahaan tidak memiliki legalitas sah untuk beroperasi,” ujar Arnif kepada Bisnisia.id , Sabtu (11/1/2025).

Menurutnya, perusahaan sawit yang belum bersertifikasi ISPO sering mengabaikan hak-hak pekerja, termasuk upah sektoral yang telah diatur pemerintah Aceh. Arnif juga memastikan pengawasan ketat dari dinas terkait untuk memastikan perusahaan mematuhi aturan.

“Pekerjaan yang haknya dilanggar bisa melapor, dan pemerintah harus tegas menjatuhkan sanksi kepada perusahaan yang lalai,” tambahnya.

Arnif berharap penerapan ISPO yang optimal dapat menciptakan industri sawit yang berkelanjutan, menguntungkan perusahaan, pekerja, dan masyarakat.

“ISPO memastikan perusahaan tidak hanya menjaga lingkungan, tetapi juga memberikan upah layak dan kondisi kerja aman,” tutupnya.

Direktur Eksekutif WALHI Aceh, Ahmad Solihin, menegaskan bahwa ISPO dirancang untuk menjawab tantangan global terkait pengelolaan perkebunan sawit yang berkelanjutan dan bertanggung jawab, baik dari aspek sosial, lingkungan hidup, maupun ekonomi.

“Kalau manajemen perusahaan itu waras dan sehat, dia pasti akan memenuhi aspek itu (ISPO),” ujar Ahmad Solihin.

Baca juga:  Presiden Prabowo Bentuk Badan Teknologi dan Intelijen Keuangan untuk Perkuat Pengawasan Negara
FJL RSWR Signage by RAN
Pembukaan lahan di Rawa SIngkil untuk perkebunan kelapa sawit. Foto Dokumen FJL Aceh

Menurut WALHI, perusahaan-perusahaan yang tidak bersertifikasi ISPO cenderung melakukan pelanggaran lingkungan. Salah satu contoh nyata adalah pengabaian terhadap kawasan dengan nilai konservasi tinggi (High Conservation Value/HCV), seperti sempadan sungai.

“Wilayah yang mempunyai nilai konservasi tinggi, seperti sempadan sungai, itu sebenarnya harus dilindungi oleh konsesi HGU, walaupun itu hak mereka. Tapi mereka bertanggung jawab untuk melindungi wilayah sempadan sungai sejauh 100 meter. Nyatanya, hampir tidak ada perusahaan sawit yang menyisakan 100 meter itu untuk tidak ditanam,” jelas Ahmad.

Selain itu, kawasan yang menjadi habitat satwa liar, seperti gajah dan orangutan, juga sering kali tidak dilindungi. “Wilayah-wilayah yang dilintasi satwa liar juga harus tetap dilindungi. Tapi apakah ada perusahaan yang melakukan itu? Tidak ada. Semua mereka hajar habis,” tambahnya.

Ahmad juga menyoroti persoalan sosial yang muncul akibat perusahaan sawit yang enggan menerapkan ISPO. Banyak perusahaan yang berkonflik dengan masyarakat sekitar, terutama terkait penggunaan lahan untuk program plasma.

“Plasma itu seharusnya dari konsesi perusahaan. Misalnya, perusahaan itu punya konsesi 5.000 hektare, maka mereka punya kewajiban 20 persen untuk kebun plasma. Tapi praktiknya, sering kali tanah warga yang digunakan, kemudian dibantu pembibitan dan proses penanaman, itu yang diklaim sebagai plasma. Padahal itu bukan dari konsesi perusahaan,” katanya.

Ahmad juga menyebutkan bahwa hak-hak pekerja kerap diabaikan, seperti pembayaran upah yang tidak sesuai dan adanya praktik mempekerjakan anak. Hal ini menjadi indikator lemahnya komitmen perusahaan terhadap keberlanjutan sosial.

WALHI menilai lemahnya penegakan hukum oleh pemerintah menjadi salah satu faktor utama mengapa banyak perusahaan sawit di Aceh tidak memenuhi standar ISPO.

Pemerintah pusat memandang persoalan ISPO sebagai sesuatu yang serius. Sebab, perkara ISPO menyangkut posisi Indonesia di pasar global. Indonesia bisa dituding tidak pro lingkungan dan kemanusiaan jika terus-menerus gagal memenuhi ISPO.

WhatsApp Image 2024 10 12 at 11.17.16
Cangkang sawit kini menjadi komoditas ekspor. Dok PT PEMA

Karena itu pula, Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian dan Perkebunan RI, Andi Nur Alam Syah, mengeluarkan surat edaran yang ditujukan kepada gubernur dan bupati/wali kota seluruh Indonesia. Nur mendesak agar pemerintah daerah ikut mendorong percepatan ISPO perkebunan sawit di daerah masing-masing.

“Saudara (kepala daerah) agar melakukan pembinaan dan pengawasan, serta penerapan sanksi sesuai kewenangan perizinan,” kata Nur dalam surat yang dikeluarkan pada Maret 2024.

Pada Juni 2024, Nur kembali mengeluarkan surat serupa dan melampirkan nama-nama perusahaan yang belum ISPO. Alih-alih ditanggapi cepat oleh pemerintah daerah, pemerintah malah nyaris tidak kuasa ‘memaksa’ perusahaan mempercepat ISPO.

Kepala Dinas Perkebunan Nagan Raya, Bustami, menjelaskan bahwa pengawasan terhadap perusahaan sawit berada di bawah kewenangan Pemerintah Provinsi Aceh. “Kewajiban pengawasannya itu kan di pemberi izin, yaitu Pemerintah Provinsi Aceh. Karena kita ada undang-undang otonomi khusus, pengawasan dilakukan oleh provinsi, bukan oleh kabupaten/kota,” jelas Bustami.

Pihaknya sudah berulang kali memberikan peringatan kepada perusahaan-perusahaan tersebut. Namun, hingga saat ini, masih ada yang enggan mematuhi aturan.

“Kami sudah berkali-kali menyampaikan ke perusahaan agar sertifikat ISPO itu diurus. Responnya ada yang sudah menyelesaikan, ada juga yang belum. Yang belum itu kendalanya karena memang perusahaan tidak mau mengurus,” ujar Bustami.

KINERJA INDUSTRI SAWIT AGUSTUS 2024
Sumber https://gapki.id/

Ketika ditanya lebih lanjut, Bustami menyatakan bahwa pemerintah kabupaten tidak memiliki kewenangan untuk menjatuhkan sanksi langsung. “Kita hanya bisa memberikan peringatan. Kalau soal sanksi atau pencabutan izin, itu ranah pemberi izin, yaitu Pemerintah Provinsi Aceh,” tegasnya.

Mencabut izin memang bukan solusi yang tepat karena bakal berdampak pada tenaga kerja, seperti gelombang PHK, dan membuat suasana investasi tidak kondusif. Di sisi lain, tindakan tegas dari pemerintah dibutuhkan agar perusahaan merasa memiliki tanggung jawab lebih besar.

Pengabaian ISPO oleh perusahaan kelapa sawit bukan hanya berdampak bagi perusahaan itu sendiri, tetapi juga bagi lingkungan, pekerja, dan daerah[]

Tim penulis : Hendra Vramenia, Haris Al Qausar, Raudhatul Jannah, Shinta Rizki Amanda.

Editor:
Arsadi

Bagikan berita:

Popular

Berita lainnya

Aliansi Buruh Aceh Kecam PHK Sepihak 81 Pekerja PT BDA Subulussalam

Bisnisia.id | Banda Aceh - Aliansi Buruh Aceh (ABA)...

Politik Uang Warnai Pilkada Aceh 2024, Praktik Kian Masif dan Canggih

Bisnisia.id| Banda Aceh - Koalisi Sipil Pemantau Pilkada (KSPP)...

Tujuh Hari Kirab Api PON XXI, 15 Kabupaten/Kota telah Dilalui

LANGSA – Memasuki hari ke-7, Kirab Api PON XXI...

Kadin Aceh: Sawit Tanpa ISPO Berisiko Dicap “Black Market”

Bisnisia.id | Banda Aceh - Kelapa sawit tanpa sertifikasi...

Dibalik Sumber Daya Migas Aceh, MaTA Soroti Transparansi yang Lemah

Bisnisia.id | Banda Aceh - Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh...

Silaturahmi ke Dayah Bustanul Huda, Irsan Sosiawan Gading Dipeusijuk Abu Paya Pasie

Bisnisia.id | Aceh Timur -Anggota DPR RI Fraksi Partai...

Industri Kosmetik di Indonesia Tumbuh, Peluang Bisnis yang Menjanjikan

Bisnisia.id | Jakarta — Industri kosmetik dalam negeri tengah...

CELIOS: Indonesia Perlu Waspada dengan Potensi Jebakan Utang dari China

Bisnisia.id | Jakarta – Dalam satu dekade terakhir, hubungan Indonesia...

Punya Hutan 3,5 Juta Hektar, Stok Karbon Aceh Potensi Ekonomi Besar

BISNISIA, BANDA ACEH - Dengan luas hutan 3,5 juta...

Al Nassr Hancurkan Al Hazm 5-1, Ronaldo Cetak Gol ke-850

Al Nassr meraih kemenangan besar saat bertandang ke markas...

Pilkada Banda Aceh, Kembalinya Illiza ke Balai Kota

Bunda menyala! Itu kosa kata yang paling tepat untuk merespons...

PSI Siap Rebut Kemenangan di Sabang

BISNISKITA.ID | Sabang - Pengurus Dewan Pimpinan Wilayah Partai...

Bupati Pidie Resmi Buka Diklat Paralegal YARA: Wujudkan Masyarakat Sadar Hukum

Bisnisia.id | Pidie — Pj Bupati Pidie, Drs. Samsul...

Pelepasan 20 Ribu Hektar Lahan Oleh Prabowo, Komitmen untuk Penyelamatan Gajah Sumatera

Bisnisia.id | Bireuen - Kebijakan Presiden Prabowo Subianto yang...

Tahun 2025, Mobil dan Motor Wajib Asuransi

Bisnisia.id | Jakarta – Beban warga Indonesia pada 2025...

Indeks Ketahanan Nasional 2024, Indonesia Raih Skor 2,87, Cukup Tangguh

Bisnisia.id | Jakarta – Indonesia berada dalam kondisi ketahanan...

Ini Cara Daftar Petani Milenial, Buruan Sebelum Habis Kuota

Bisnisia.id | Jakarta – Kabar gembira bagi para pemuda...

Hadi Surya: PT. PEMA Harus Serius Ekspansi Usaha pada Sektor Rill

Bisnisia.id | Banda Aceh – Komisi III Dewan Perwakilan...

3.042 Wisman Kunjungi Aceh pada Agustus 2024, Malaysia Penyumbang Terbanyak

BISNISIA.ID | Banda Aceh - Provinsi Aceh mencatat kedatangan...