Bisnisia.id | Banda Aceh – Kelapa sawit tanpa sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) berisiko dicap sebagai produk “black market” atau sawit yang tidak memenuhi standar sehingga berpotensi ditolak di pasar global. Oleh karena itu pelaku usaha sawit harus segera mengurus ISPO agar sawit Aceh memiliki standar tinggi di pasar dunia.
Hal itu disampaikan oleh Wakil Ketua Umum Bidang Investasi dan Perizinan Kamar Danang dan Industri (Kadin) Aceh, TAF Haikal, menekankan pentingnya sertifikasi ISPO sebagai upaya mendukung keberlanjutan industri kelapa sawit. Menurutnya, sertifikasi ini bukan hanya tuntutan pasar, tetapi juga bagian dari strategi untuk menjaga posisi Indonesia di panggung global.
“ISPO adalah kewajiban dalam konteks keberlanjutan perkebunan, khususnya sawit. Sebagai salah satu penghasil dan pengekspor CPO terbesar di dunia, Indonesia memiliki tanggung jawab untuk mengikuti standar global,” ujar TAF Haikal kepada Bisnisia.id, Rabu (8/1/2025).
Haikal mengungkapkan bahwa sekitar 90 persen produksi kelapa sawit Indonesia diekspor ke pasar internasional. Oleh karena itu, memastikan keberlanjutan produk melalui sertifikasi ISPO menjadi langkah penting dalam mempertahankan daya saing di pasar global.

Namun, implementasi ISPO menghadapi berbagai tantangan, terutama bagi petani kecil dan pengusaha menengah ke bawah. Haikal menjelaskan bahwa banyak petani kecil terkendala oleh persyaratan, seperti legalitas lahan, pengelolaan lingkungan, dan keberlanjutan sosial.
“Bagi petani sawit kecil dengan lahan di bawah 5 hektare, apalagi jika lahannya merupakan lahan adat, memenuhi persyaratan ISPO bukan perkara mudah. Mereka biasanya tidak langsung mengekspor produknya, melainkan melalui rantai pasar yang panjang,” ungkapnya.
Untuk mengatasi tantangan ini, Kadin Aceh menekankan perlunya kolaborasi antara perusahaan besar, pemerintah, dan pelaku usaha kecil. Perusahaan besar yang sudah memiliki sertifikasi ISPO diharapkan berperan aktif dalam mendampingi pengusaha kecil.
“Perusahaan besar harus membantu pengusaha kecil memahami dan memenuhi standar ISPO. Ini adalah kewajiban bersama untuk menjaga pasar global dan keberlanjutan industri sawit kita,” tambah Haikal.
Selain itu, pemerintah memiliki peran strategis dalam mendukung pelaksanaan ISPO. Haikal mengingatkan bahwa pemerintah tidak cukup hanya sebagai regulator, tetapi juga perlu menjadi mitra yang aktif memberikan sosialisasi dan pendampingan.
“Kami berharap pemerintah tidak sekadar membuat aturan, lalu mencabut izin tanpa solusi. Pemerintah harus mendampingi pelaku usaha, terutama yang kecil, untuk mencapai standar ISPO,” tegasnya.
Haikal memperingatkan bahwa kegagalan memenuhi standar ISPO dapat berdampak serius bagi industri sawit. Produk sawit tanpa sertifikasi berisiko dicap sebagai “black market” dan dilarang masuk pasar internasional.
“ISPO memastikan produk sawit memenuhi kriteria lingkungan, sosial, dan administrasi. Jika standar ini tidak dipenuhi, produk kita bisa di-blacklist di pasar global, yang tentunya merugikan pengusaha dan daerah,” jelasnya.

Sebagai wadah pengusaha di Aceh, Kadin berkomitmen membantu anggotanya, termasuk petani kecil, dalam memenuhi sertifikasi ISPO. Kadin juga akan bekerja sama dengan asosiasi seperti Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) untuk mendukung proses pendampingan.
“Kadin berdiri di tengah sebagai mitra pemerintah dan pengusaha. Kami siap membantu di semua aspek, dari regulasi hingga keberlanjutan lingkungan dan sosial. Kami ingin memastikan ISPO dapat diterapkan oleh semua pelaku usaha, besar maupun kecil,” tutup TAF Haikal.
Dengan sinergi yang kuat antara pemerintah, pengusaha, dan masyarakat, Haikal optimistis industri sawit Aceh akan terus berkembang secara berkelanjutan serta memberikan kontribusi positif bagi perekonomian daerah.
Berdasarkan surat dari Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Nomor B-491/KB.410/E/06/2024, perusahaan yang belum memiliki ISPO dapat dicabut izinnya. Namun, hingga kini, belum ada tindakan tegas terhadap perusahaan-perusahaan yang melanggar.
Per Juni 2024, sebanyak 37 perusahaan sawit di Aceh belum mengantongi ISPO. Sementara bagi petani kecil sebagian besar belum memiliki ISPO.