Bisnisia.id | Aceh Besar – Di sebuah ruang sederhana di Aceh Besar, terdengar bunyi “kreek-kreek” saat kayu tureuk—sepotong buluh bambu—bergesekan dengan teupeun, alat menenun. Sabe Seudia Songket adalah sebuah usaha rumahan di Aceh Besar yang mengkhususkan diri dalam menenun songket khas Aceh.
“Ini motif bungong meulue,” tutur Khaira (29), sambil menunjuk pada kain yang masih terikat pada peusha (batang gelendong).
Khaira Ummah, seorang pengrajin songket dari Gampong Siem, Darussalam, Aceh Besar, telah menenun sejak 2011. Berawal dari belajar kepada sang ibu, Khaira menjadikan usaha ini sebagai warisan keluarga dan mata pencaharian yang terus dikembangkan.
Melalui Sabe Seudia Songket, ia membuktikan bahwa usaha bukan hanya soal bertahan hidup, tetapi juga langkah-langkah kecil dalam merawat tradisi.
“Saya belajar menenun sejak kecil dari ibu,” ungkap Khaira pada Rabu (30/10/2024), di Gampong Siem, Darussalam, Aceh Besar.
Nyakmu, Pelopor Songket Tenun di Desa Siem
Khaira mengisahkan bahwa tradisi menenun ini diwarisi dari Nyakmu, sosok pelopor songket tenun di Desa Siem. Pada 1991, Presiden Soeharto menganugerahkan penghargaan Upakarti kepada Nyakmu, sebuah penghargaan dari pemerintah yang ditujukan untuk pengrajin atau pengusaha kecil yang berjasa dalam pengabdian serta kepeloporan di bidang industri kecil dan kerajinan.
Kain tenun yang dihasilkan oleh para pengrajin Aceh pernah mencapai masa kejayaan pada 1973, dengan predikat wastu citra yang mencerminkan nilai guna dan budaya yang tinggi.
Khaira mengatakan bahwa untuk menyelesaikan sehelai kain songket membutuhkan ketelitian tinggi dan proses yang cukup panjang. Menurut Khaira, dibutuhkan waktu sebulan untuk menenun dua set kain, yaitu satu selendang dan satu sarung, dengan berbagai motif tradisional.
“Setiap motif punya makna tersendiri,” ujar Khaira sambil menjelaskan detail motif yang ia gunakan.
Motif-motif yang dihasilkan oleh para pengrajin Desa Siem sangat beragam, umumnya terinspirasi dari alam pedesaan dan kearifan lokal. Beberapa motif yang dikenal luas meliputi Pucok Reubong, yang melambangkan pertumbuhan; Bungong Kalimah, yang menggambarkan doa dan keteguhan iman; serta motif lainnya seperti Bungong Geulima, Bungong Campli, dan Bungong Awan-awan, dengan total lebih dari 50 motif.
Setiap motif ini bukan hanya estetis tetapi juga merefleksikan kehidupan agraris masyarakat Aceh Besar, menjadikan kain songket dari Gampong Siem sebagai karya yang kaya makna dan sejarah.
Berdasarkan penelitian mahasiswa Program Studi Pendidikan Seni Drama, Tari, dan Musik, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Syiah Kuala, berjudul ‘Tenun Songket Aceh “Nyakmu” di Desa Siem, Kabupaten Aceh Besar’, songket Aceh Nyakmu memiliki 63 motif yang bervariasi. Motif-motif ini terus dikembangkan untuk menyesuaikan dengan kebutuhan dan selera pasar yang dinamis, sehingga tradisi dan estetika budaya Aceh tidak hanya lestari tetapi juga semakin dikenal secara luas.
Proses Pembuatan Songket Aceh
Proses pembuatan songket Aceh terdiri dari lima tahap utama, yaitu:
1. Peuglah Beuneung Sutera (Penggulungan Benang Sutera)
Tahap pertama melibatkan penggulungan benang sutera yang akan digunakan sebagai bahan dasar kain songket.
2. Seumiweut (Merentangkan Benang Lungsi)
Pada tahap kedua, pengrajin melakukan proses seumiweut, yaitu merentangkan benang lungsi atau benang dasar kain agar tersusun rapi dan siap untuk diproses lebih lanjut.
3. Peuget Idong (Pembuatan Simpul pada Benang Lungsi)
Tahap ketiga adalah membuat simpul pada benang lungsi. Simpul-simpul ini akan dililitkan pada batang kumpar yang berfungsi sebagai penopang untuk menciptakan pola dasar kain.
4. Dong Teupun (Melilit Benang Lungsi pada Batang Kumpar)
Langkah keempat adalah dong teupun, yaitu melilitkan benang lungsi pada batang kumpar sebagai persiapan merancang motif pada kain.
5. Nyulek Motif (Merancang dan Menambahkan Motif pada Kain)
Tahap terakhir adalah nyulek motif, di mana motif songket dirancang dan ditambahkan pada kain sesuai desain yang diinginkan. Proses ini memberikan identitas pada kain songket Aceh, karena setiap motif mengandung nilai filosofis dan estetika budaya.
Pembuatan songket di Sabe Seudia Songket membutuhkan keterampilan khusus dan waktu yang cukup lama. Dalam sebulan, Khaira hanya mampu menyelesaikan satu hingga dua lembar kain songket, dibantu oleh ibunya. Proses pengerjaan yang rumit mulai dari pemintalan benang, menyusun motif, hingga menenun menjadi tantangan tersendiri bagi Khaira.
“Kain ini menggunakan benang karton, poliester, hingga kasab emas yang menjadi ciri khas songket Aceh. Pemakaian benang kasab emas memberi kesan mewah dan membedakan songket Aceh dari daerah lain,” ujar Khaira.
Khaira juga menyebutkan bahwa proses ini membutuhkan ketelitian tinggi, karena setiap motif harus dibuat sesuai pesanan, mulai dari motif Pintu Aceh, Bunga Melue, hingga motif baru yang ia kreasikan sendiri.
Pemasaran dan Penjualan
Pemasaran produk songket ini masih dilakukan secara mandiri melalui media sosial seperti Instagram dan Facebook. Meski sudah dikenal hingga ke Malaysia, Khaira menyebutkan bahwa upaya ini masih terbatas dan berharap adanya dukungan lebih lanjut untuk memperluas pemasaran, terutama di pasar dalam negeri dan regional.
“Saya berharap pemasaran bisa lebih luas, agar songket Aceh semakin dikenal dan diminati,” tutur Khaira.
Pesanan songket sering kali harus diproduksi sesuai anggaran pemesan, yang membuat harga kain songket bervariasi. Selendang dan kain songket yang diproduksi oleh Sabe Seudia Songket dijual berdasarkan permintaan dan anggaran pembeli.
Pelestarian Songket Aceh
Bagi Khaira, songket bukan hanya sekadar kain tenun, melainkan bagian dari identitas dan warisan budaya Aceh yang harus dijaga dan dilestarikan. Ia berharap agar generasi muda tertarik untuk belajar menenun, sehingga tradisi ini dapat terus hidup dan berkembang.
“Harapan saya ke depan adalah agar Sabe Seudia Songket lebih dikenal dan tradisi menenun ini tetap lestari,” kata Khaira.
Di tengah arus modernisasi dan perubahan zaman, usaha kecil seperti Sabe Seudia Songket adalah benteng pelindung bagi warisan budaya yang berharga. Khaira Ummah, dengan tangan terampil dan hati penuh cinta pada tradisi, adalah contoh nyata bahwa melestarikan budaya dapat dimulai dari rumah kecil di sudut Aceh Besar.