Bisnisia.id | Banda Aceh – Ladang gas Arun di Lhokseumawe, Aceh, dinilai memiliki potensi besar untuk menjadi lokasi Carbon Capture and Storage (CCS), yang sejalan dengan upaya global dalam mengurangi emisi karbon dan mencapai net zero emission.
Namun, meskipun potensinya sangat menjanjikan, proyek ini masih tertahan di tahap studi kelayakan dan belum memasuki fase implementasi.
Akademisi Program Studi Teknik Pertambangan Universitas Syiah Kuala (USK), Dr. Teuku Andika Rama Putra, menyatakan bahwa secara geologis, Ladang Arun sangat cocok untuk penyimpanan karbon. Struktur pori-pori batuannya yang tidak terlalu besar menjadikannya ideal untuk menahan gas karbon dioksida (CO₂) agar tidak bocor setelah disimpan di bawah tanah.
“Karena sebelumnya ini adalah ladang gas alam cair (LNG), secara fasa gasnya mirip dengan CO₂, sehingga tidak mudah bocor. Selain itu, secara geografis juga sangat strategis dengan adanya pelabuhan dan jalur laut yang memadai,” ujarnya kepada Bisnisia.id, Kamis (20/2/2025).

PEMA Aceh Carbon, hasil joint venture antara PT Pembangunan Aceh (PEMA) dan Aceh Carbon, telah melakukan kajian awal dan menyusun buku panduan CCS sebagai referensi teknis serta bahan sosialisasi bagi masyarakat.
Hal ini penting mengingat konsep CCS masih tergolong baru dan bisa menimbulkan pertanyaan dari masyarakat sekitar, terutama terkait keamanannya.
Namun, kendala utama yang dihadapi proyek ini adalah minimnya investasi akibat ketidakpastian regulasi dan belum adanya payung hukum yang kuat di tingkat nasional.
Hingga saat ini, Indonesia belum memiliki undang-undang khusus tentang perdagangan karbon dan CCS, hanya mengacu pada Peraturan Presiden (Perpres) No. 14 Tahun 2024.
“Investor butuh kepastian hukum. Kalau hanya qanun (peraturan daerah) yang mengatur, mereka masih ragu. Kalau ada undang-undang nasional, kepercayaan investor akan meningkat,” jelas Dr. Andika yang juga tergabung dalam tim peneliti PEMA Aceh Carbon.

Selain itu, infrastruktur untuk proses injeksi karbon juga belum tersedia. Setelah studi kelayakan selesai, perlu ada sistem pemipaan dari pelabuhan ke Ladang Arun, serta koordinasi dengan Badan Usaha Pembangun dan Pengelola (BUPP) Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Arun Lhokseumawe dan PEMA Global Energi (PGE) untuk memastikan tidak ada tumpang tindih dengan wilayah migas yang masih aktif.
Secara geografis, sistem pemipaan (piping system) untuk distribusi karbon dari Ladang Arun ke pelabuhan sudah sangat strategis dan layak dibangun. Dengan adanya jalur laut yang mendukung, distribusi karbon dari fasilitas CCS ke pasar global dapat dilakukan dengan lebih efisien, memperkuat daya saing Aceh sebagai pusat bisnis karbon di Indonesia.
“Kalau nanti sumur tua Ladang Arun ternyata memiliki retakan atau pori-pori yang terlalu besar, perlu ada metode seperti hydraulic fracturing untuk memperkuat dinding sumur. Semua ini harus dikaji lebih lanjut sebelum proyek bisa berjalan,” tambahnya.
Jika proyek CCS di Arun berhasil direalisasikan, manfaatnya tidak hanya bagi lingkungan tetapi juga ekonomi daerah. Selain dapat mengurangi emisi karbon, Aceh berpotensi meraup keuntungan dari perdagangan karbon dengan negara-negara industri seperti Singapura, Jepang, dan Jerman yang membutuhkan fasilitas penyimpanan karbon.

Bahkan, ada peluang untuk mengembangkan industri berbasis karbon seperti produksi asam sulfat dari karbon yang disimpan, sehingga menciptakan nilai tambah bagi daerah.
“Sertifikat karbon dari sisa kuota emisi bisa dijual dan menghasilkan pemasukan bagi daerah. Apalagi Aceh memiliki emisi yang relatif rendah dibandingkan wilayah industri besar lainnya di Indonesia. Jadi, ada peluang besar untuk menjadikan Aceh sebagai pemain utama dalam bisnis karbon,” ungkap Dr. Andika.
Ke depan, Dr. Andika menekankan bahwa PT PEMA harus lebih agresif dalam mencari investor baru dan mempercepat penyelesaian studi kelayakan agar proyek ini tidak terus tertunda.
“Kalau PEMA bisa meyakinkan investor dan pemerintah memperkuat regulasi, proyek ini bisa segera berjalan. Sayang kalau potensi sebesar ini tidak dimanfaatkan dengan baik,” katanya.