Bisnisia.id | JAKARTA — Kondisi perekonomian Indonesia yang lesu semakin mencemaskan, terutama dengan melemahnya daya beli masyarakat yang tercermin dari penurunan konsumsi dan pertumbuhan ekonomi yang stagnan di bawah 5% pada kuartal III-2024.
Kalangan ekonom menilai, kondisi ini membutuhkan respons cepat dari pemerintah untuk mencegah dampak yang lebih parah bagi perekonomian nasional.
Chief Economist BSI, Banjaran Surya Indrastomo, menegaskan pentingnya peran pemerintah dalam memulihkan daya beli masyarakat.
Menurutnya, pemerintah harus lebih agresif dalam meningkatkan belanja negara sebagai salah satu upaya mendorong sisi permintaan dalam perekonomian.
“Belanja pemerintah perlu digencarkan, khususnya dalam bentuk stimulus fiskal yang tepat sasaran. Ini mencakup program-program penciptaan lapangan kerja baru serta dorongan investasi yang dapat merangsang permintaan,” kata Banjaran.
Banjaran menyoroti pentingnya penciptaan lapangan kerja yang sesuai dengan keterampilan tenaga kerja Indonesia, yang mayoritas bergerak di sektor jasa.
Ia menilai sektor pariwisata, digital, dan ekonomi berbasis layanan seperti gig economy memiliki potensi besar untuk dikembangkan.
“Industri pariwisata, ekosistem digital, dan sektor layanan seperti gig workers—contohnya ojol (ojek online) dan kurir—perlu menjadi prioritas. Gig economy mampu memberikan lapangan kerja fleksibel dan membantu menjaga daya beli masyarakat karena terkait erat dengan pengeluaran untuk mobilitas dan leisure,” jelas Banjaran.
Ia menambahkan, perkembangan gig economy juga dapat memberikan efek trickle-down yang signifikan bagi sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
Dengan lebih dari 60 juta UMKM yang sangat bergantung pada daya beli masyarakat, dorongan terhadap gig economy dinilai dapat membantu menggerakkan roda perekonomian dari bawah.
Tidak hanya stimulus fiskal, Banjaran juga menyarankan agar pemerintah menerapkan kebijakan moneter yang pro-pertumbuhan.
Salah satu langkah konkret yang bisa dilakukan adalah penurunan suku bunga untuk menekan biaya pembiayaan.
“Saat ini, dengan suku bunga yang lebih rendah, biaya pembiayaan dapat ditekan sehingga investasi dan permintaan bisa didorong lebih kuat. Ini penting untuk menciptakan efek multiplier yang dapat memacu pertumbuhan ekonomi,” ungkapnya.
Langkah ini diharapkan bisa memberikan dorongan tambahan pada sektor swasta yang selama ini mengalami kesulitan dalam memperoleh pendanaan murah, terutama di tengah kondisi global yang tidak menentu.
Selain memperkuat sektor domestik, Banjaran juga menyarankan agar pemerintah kembali menggiatkan pengiriman tenaga kerja Indonesia ke luar negeri.
Langkah ini tidak hanya untuk mengurangi tekanan di pasar tenaga kerja domestik, tetapi juga untuk mendatangkan devisa yang sangat dibutuhkan.
“Kita perlu memanfaatkan peluang di luar negeri, terutama di sektor jasa. Dengan mengirim tenaga kerja terampil ke negara-negara yang membutuhkan, kita bisa mendatangkan devisa sekaligus mengurangi tekanan pengangguran di dalam negeri,” tegasnya.
Ia menyebutkan bahwa tenaga kerja Indonesia memiliki keunggulan di bidang jasa, yang bisa dioptimalkan untuk pasar internasional. Selain itu, pengiriman tenaga kerja ke luar negeri juga dapat menjadi solusi jangka pendek untuk menambah aliran devisa yang dibutuhkan untuk menjaga stabilitas ekonomi eksternal.
Banjaran mengingatkan bahwa Indonesia menghadapi tantangan ekonomi yang semakin berat jika langkah-langkah konkret tidak segera diambil.
Ia memperkirakan bahwa jika dalam 3 bulan ke depan pemerintah tidak bisa menemukan strategi yang tepat, pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa terjebak di bawah 5% untuk jangka waktu yang lebih lama.
“Kita sudah melihat tanda-tanda perlambatan ini, dan jika tidak ada strategi baru dalam waktu dekat, kita akan terjebak pada pertumbuhan rendah. Ini bisa menjadi masalah besar untuk keberlanjutan ekonomi jangka panjang,” ungkap Banjaran.
Menurut Banjaran, Indonesia perlu fokus pada sektor-sektor yang dapat menghasilkan lapangan kerja secara cepat dan berkelanjutan, terutama di tengah kondisi global yang tidak menentu akibat berbagai ketidakpastian ekonomi seperti perang dagang, perubahan iklim, hingga ketegangan geopolitik.
Banjaran menutup dengan memberikan peringatan bahwa tanpa langkah-langkah yang agresif dan terukur, Indonesia mungkin akan menghadapi masa-masa sulit yang lebih panjang.
“Perlambatan ekonomi yang terus terjadi bisa menimbulkan dampak sosial yang lebih luas, seperti peningkatan angka kemiskinan dan ketimpangan sosial yang semakin tajam,” tuturnya.
Oleh karena itu, diperlukan sinergi antara kebijakan fiskal, moneter, dan struktural untuk mengatasi masalah penurunan daya beli ini. Pemerintah perlu memastikan bahwa kebijakan yang diambil dapat terealisasi dengan baik di lapangan, agar ekonomi Indonesia dapat kembali tumbuh dengan stabil.
Banjaran berharap bahwa dengan langkah-langkah yang tepat, daya beli masyarakat dapat pulih dan ekonomi Indonesia bisa kembali menuju jalur pertumbuhan yang lebih baik di tahun mendatang.
Tanpa tindakan yang cepat, Indonesia berisiko kehilangan momentum pemulihan ekonomi yang sudah mulai terasa di awal tahun ini.
“Waktu terus berjalan, dan kita harus segera bertindak. Kita tidak bisa lagi menunggu, ini adalah saat yang tepat untuk mengimplementasikan strategi-strategi baru agar perekonomian bisa bangkit kembali,” pungkasnya.