Bisnisia.id | Banda Aceh – Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh tengah mendalami dugaan tindak pidana korupsi yang melibatkan Balai Guru Penggerak (BGP) Aceh dengan jumlah anggaran lebih dari Rp75 miliar dalam rentang anggaran tahun 2022 hingga 2023. Dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ini terdiri dari Rp18.402.292.621 pada tahun 2022 dan Rp57.174.167.000 pada tahun 2023.
Berdasarkan investigasi, dugaan praktik mark-up dan alokasi anggaran fiktif ditemukan dalam belanja keuangan dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), yang disinyalir mengalir ke pihak-pihak tertentu melalui kegiatan yang tidak sesuai dengan rencana tujuan pengadaan.
Kepala Seksi Penerangan Hukum (KASI PENKUM) Kejati Aceh, Ali Rasab Lubis, S.H., menekankan bahwa tindakan korupsi di sektor pendidikan ini berdampak lebih luas daripada sekadar kerugian negara.
“Korupsi di sektor pendidikan tidak hanya berdampak pada kerugian negara secara finansial, tetapi juga menghilangkan dasar legitimasi serta kepercayaan publik terhadap lembaga pendidikan dan pemimpinnya. Selain itu, kesempatan masyarakat untuk mendapatkan pendidikan berkualitas pun ikut sirna akibat anggaran yang dikorupsi,” ujar Ali Rasab.
Tindak korupsi ini semakin memprihatinkan, terutama mengingat pentingnya anggaran pendidikan dalam menjalankan amanat UUD 1945 Amandemen Ke-4 Ayat 4 yang menggariskan alokasi anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN dan APBD.
Menurut Ali Rasab, dugaan korupsi yang terjadi menunjukkan bahwa alokasi dana sebesar itu, yang seharusnya digunakan untuk pengembangan kapasitas tenaga pendidikan, malah disalahgunakan.
Dalam rangka mengusut tuntas dugaan korupsi ini, Kejati Aceh telah melakukan serangkaian tindakan penyidikan dan pemeriksaan saksi yang melibatkan lebih dari 200 orang, termasuk pegawai BGP Aceh dan pihak ketiga yang terkait dengan kegiatan di seluruh kabupaten dan kota di Aceh.
Tim penyidik berhasil mengidentifikasi calon tersangka yang diduga terlibat dalam pengelolaan anggaran fiktif tersebut.
Berdasarkan keterangan para saksi, Kejati Aceh kini tengah memperkuat bukti dan melengkapi pemberkasan perkara untuk membawa kasus ini ke tahap hukum yang lebih lanjut.
“Pengumpulan bukti terus kami lakukan di 23 kabupaten dan kota, tempat BGP Aceh melaksanakan kegiatan-kegiatannya. Pemeriksaan ini bertujuan untuk memperkuat dasar pembuktian tindak pidana dan memberikan efek jera bagi pihak-pihak yang berniat menyalahgunakan anggaran publik,” ujar Ali Rasab.
Temuan awal menunjukkan adanya modus penyimpangan berupa penggelembungan anggaran dan pencatatan kegiatan fiktif yang dialirkan ke pihak-pihak tertentu tanpa digunakan sesuai tujuan pengadaan.
Praktik ini tidak hanya merugikan negara secara langsung, tetapi juga menghalangi pelaksanaan pendidikan berkualitas di Aceh, menutup peluang bagi peningkatan kapasitas tenaga pendidikan di provinsi tersebut.
Menurut Ali Rasab, tindakan seperti ini perlu mendapat perhatian karena diduga modus yang sama dapat terjadi di unit kerja, dinas, dan lembaga lainnya, khususnya di wilayah Aceh.
“Kasus korupsi di BGP Aceh ini diharapkan menjadi pelajaran bagi unit-unit kerja lain agar lebih bijak dan bertanggung jawab dalam pengelolaan anggaran, terutama di sektor pendidikan yang merupakan hak dasar setiap warga negara,” tambahnya.
Ali Rasab menyatakan bahwa Kejati Aceh sangat membutuhkan dukungan masyarakat dalam upaya memberantas tindak pidana korupsi di wilayah Aceh, yang juga dikenal sebagai Bumi Serambi Mekah.
Dengan dukungan masyarakat, ia berharap tindakan-tindakan penegakan hukum yang dilakukan dapat mencegah penyalahgunaan anggaran lebih lanjut, khususnya di sektor-sektor yang mempengaruhi kesejahteraan dan masa depan generasi muda Aceh.
“Korupsi di sektor pendidikan menodai cita-cita bangsa dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Kami menghimbau masyarakat untuk turut serta mengawasi dan mendukung segala bentuk upaya pemberantasan korupsi, karena pendidikan adalah modal utama kita untuk membangun Aceh yang lebih baik,” pungkas Ali Rasab.