Bisnisia.id | Banda Aceh – Aceh mencatat fenomena unik di mana konsumsi rokok masuk dalam 10 besar barang konsumsi utama masyarakat. Ironisnya, rokok yang tidak memberikan nilai gizi justru menggeser kebutuhan pokok seperti ikan dan sayur dalam pola pengeluaran masyarakat.
Ketua Tim Statistik Sosial Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh, Abd Hakim, Senin (25/11/2024) di Banda Aceh menjelaskan bahwa kebiasaan merokok ini bukan hanya persoalan gaya hidup, tetapi juga memberikan kontribusi besar terhadap ketimpangan ekonomi di provinsi tersebut.
“Rata-rata orang dewasa di Aceh menghabiskan sekitar 91 batang rokok per minggu, atau setara dengan 13 batang per hari,” ungkap Hakim. Dengan harga rata-rata Rp2.000 per batang, seorang perokok mengeluarkan sekitar Rp26.000 per hari untuk rokok.
“Angka tersebut setara dengan satu porsi makanan bergizi lengkap yang terdiri atas ikan dan sayur. Namun, masyarakat tetap lebih memilih rokok, bahkan dalam kondisi ekonomi yang sulit,” ujarnya kepada Bisnisia.id.
Fenomena ini mencerminkan pola pengeluaran masyarakat yang cenderung mendahulukan kebutuhan non-esensial dibandingkan kebutuhan dasar, yang dapat memperburuk kondisi kemiskinan dan kesehatan masyarakat Aceh.
Dampak konsumsi rokok juga tercermin dalam laporan terbaru BPS, yang mencatat inflasi Aceh pada Oktober 2024 mencapai 1,69 persen. Rokok menyumbang 0,38 persen terhadap angka inflasi tersebut.
Lebih mencengangkan, rokok menempati posisi kedua setelah beras sebagai penyumbang garis kemiskinan di Aceh. Hakim menegaskan bahwa meskipun tidak memiliki nilai kalori, rokok tetap menjadi bagian signifikan dari pengeluaran masyarakat.
“Konsumsi rokok yang tinggi, dengan nol kalori, justru memperbesar angka garis kemiskinan. Hal ini karena kalori merupakan salah satu indikator dalam perhitungan kebutuhan dasar masyarakat,” jelasnya.
Perbedaan konsumsi rokok antara masyarakat perkotaan dan pedesaan juga menjadi perhatian. Konsumsi rokok lebih tinggi di perkotaan, yaitu 11,58 persen, dibandingkan 10,37 persen di pedesaan.
“Meskipun lebih tinggi di kota, konsumsi rokok di desa tetap signifikan. Harga rokok yang lebih terjangkau di pedesaan sering kali membuat pengeluaran untuk rokok mengorbankan kebutuhan pokok lainnya,” ujarnya.
Ketimpangan ini menunjukkan bahwa rokok menjadi salah satu faktor utama yang memengaruhi ketidakstabilan ekonomi, baik di perkotaan maupun pedesaan.
Permasalahan rokok di Aceh tidak hanya terkait aspek ekonomi, tetapi juga budaya. Generasi muda, khususnya laki-laki, sering menganggap rokok sebagai simbol kedewasaan dan gaya hidup.
“Ketika saya muda, jika tidak merokok, rasanya tidak keren. Budaya ini masih sangat kuat di masyarakat kita dan perlu menjadi perhatian serius,” ungkap Hakim.
Remaja yang mulai merokok sejak dini tidak hanya terjebak dalam kebiasaan yang sulit dihentikan, tetapi juga berpotensi menjadi beban ekonomi bagi keluarga di masa depan.
Rokok menjadi gambaran nyata bagaimana kebiasaan dapat memengaruhi aspek ekonomi, kesehatan, dan sosial secara luas. Dengan angka konsumsi yang tinggi serta dampaknya yang merugikan, Aceh perlu mengambil langkah strategis untuk mengubah pola ini.
Masa depan yang lebih baik bagi masyarakat Aceh dapat dimulai dengan meningkatkan kesadaran akan pentingnya kebutuhan pokok dibandingkan kebiasaan yang tidak memberikan manfaat nyata.