Bisnisia.id | Banda Aceh – Harga gabah petani di Provinsi Aceh mengalami ketidakstabilan, terutama saat panen raya, ketika harga cenderung menurun. Sementara itu, ancaman pembangunan infrastruktur di beberapa daerah turut mengurangi lahan sawah, sehingga mengancam keberlanjutan produksi.
Ketua Tim Statistik Produksi Badan Pusat Statistik Aceh, Andariati Afrida, mengungkapkan bahwa meski produksi gabah di Aceh diproyeksikan meningkat pada 2024 dibandingkan tahun sebelumnya, sejumlah tantangan masih membayangi. Hal tersebut ia sampaikan kepada Bisnisia.id pada Senin (25/11/2024) di Banda Aceh.
“Metode Kerangka Sampel Area (KSA) memungkinkan kami memprediksi potensi produksi hingga Desember. Berdasarkan data sementara, produksi gabah tahun 2024 diperkirakan lebih tinggi dibandingkan 2023,” ujarnya.
Menurut Andariati, Aceh Utara menjadi daerah dengan produksi gabah tertinggi berkat luasnya lahan sawah di kabupaten tersebut.
“Aceh Utara memiliki lahan sawah yang sangat luas, sehingga produksinya tinggi. Hubungan antara luas lahan dan produksi ini sangat linear,” jelasnya.
Sebaliknya, Aceh Besar menghadapi tantangan serius akibat alih fungsi lahan yang terjadi secara masif. Proyek pembangunan jalan tol, perumahan, dan infrastruktur lainnya mengurangi luas area persawahan secara signifikan.
“Alih fungsi lahan menjadi salah satu penyebab utama penurunan produksi gabah di Aceh Besar. Banyak sawah berubah menjadi kawasan perumahan atau infrastruktur lain,” katanya.
Selain itu, daerah seperti Sabang dan Subulussalam mencatat produksi gabah terendah akibat terbatasnya lahan sawah.
“Sawah di Sabang dan Subulussalam sangat kecil, sehingga produksi gabahnya pun terbatas,” tambahnya.
Harga gabah di Aceh mengikuti pola fluktuatif, di mana saat panen raya—seperti yang diperkirakan terjadi pada Maret 2024—harga biasanya menurun. Namun, setelah panen berakhir, harga kembali naik.
“Ketika panen raya, harga gabah cenderung turun. Namun, setelah panen selesai, harga akan kembali normal atau bahkan meningkat,” ujar Andariati.
Faktor cuaca juga berperan besar dalam memengaruhi harga dan produksi gabah. Musim kering, misalnya, dapat menurunkan hasil panen padi, yang kemudian menyebabkan kenaikan harga.
“Produksi yang rendah otomatis membuat harga naik. Ini adalah hukum ekonomi,” jelasnya.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa harga Gabah Kering Panen (GKP) pada Oktober 2024 mengalami penurunan, baik di tingkat petani maupun penggilingan. Rata-rata harga GKP di tingkat petani tercatat sebesar Rp6.147/kg, turun 1,05 persen dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month). Sementara itu, di tingkat penggilingan, rata-rata harga mencapai Rp6.325/kg, juga mengalami penurunan sebesar *1,06 persen.
Harga GKP tertinggi pada Oktober 2024 terjadi di Kabupaten Pidie Jaya, dengan nilai mencapai Rp6.500/kg. Sebaliknya, harga terendah tercatat di Kabupaten Aceh Barat Daya, dengan harga hanya Rp5.600/kg.
Tren harga GKP sepanjang 2024 menunjukkan fluktuasi yang signifikan. Setelah sempat berada di puncaknya pada awal tahun, harga mulai menurun menjelang April, sebelum kembali naik pada Mei dan Juni. Penurunan kembali terjadi setelah Juli, hingga akhirnya stabil di angka Rp6.147/kg dan Rp6.325/kg untuk tingkat petani dan penggilingan pada Oktober.
Penurunan harga ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk musim panen raya yang memicu peningkatan pasokan gabah di pasar. Namun, harga yang lebih rendah di tingkat petani menunjukkan adanya tantangan dalam menjaga keseimbangan antara pasokan, permintaan, dan kebijakan harga.
Langkah strategis diperlukan untuk menstabilkan harga, seperti meningkatkan akses petani terhadap teknologi pascapanen, memperbaiki jaringan distribusi, dan memastikan adanya perlindungan harga minimum untuk mendukung kesejahteraan petani.
Bantuan subsidi dari pemerintah kepada petani menjadi faktor penting dalam meningkatkan produktivitas. Meski demikian, Andariati menekankan pentingnya kesinambungan program tersebut agar dampaknya bisa bertahan lama.
“Subsidi pemerintah sangat membantu, tetapi harus dilakukan secara terus-menerus. Selain itu, penyuluhan rutin kepada petani juga diperlukan untuk memastikan produksi mereka tetap optimal,” katanya.
Namun, BPS belum memiliki data pasti mengenai jumlah petani yang menerima subsidi dan dampaknya secara rinci.
“Kami hanya melihat hasil data dan kolaborasi dengan dinas pertanian. Bantuan memang ada pengaruhnya terhadap peningkatan produksi,” tambahnya.
Dengan potensi peningkatan produksi gabah pada 2024, pemerintah daerah diharapkan mengambil langkah strategis untuk menjaga keberlanjutan. Salah satu langkah penting adalah menekan alih fungsi lahan dan memastikan akses petani terhadap teknologi pertanian yang dapat meningkatkan produktivitas.
“Jika produksi gabah terus meningkat, Aceh berpotensi menjaga ketahanan pangannya sendiri. Namun, ini membutuhkan dukungan dari semua pihak, terutama dalam melindungi lahan sawah dari alih fungsi,” tutup Andariati.