Bisnisia.id | Banda Aceh – Penurunan harga batubara global terus menambah tekanan bagi industri pertambangan, khususnya batubara kalori rendah, seperti yang terjadi di Provinsi Aceh. Harga batubara dengan nilai kalori 3.400 kcal/kg GAR pada Jumat (27/12/2024) tercatat berada di level USD 30,9 per ton, angka yang hampir setara dengan biaya produksi perusahaan, termasuk yang beroperasi di Aceh.
Situasi ini membuat perusahaan batubara kalori rendah kesulitan untuk mempertahankan kelangsungan operasionalnya.
Koordinator Program Studi Teknik Pertambangan Universitas Syiah Kuala (USK), Ir. Pocut Nurul Alam, MT, menjelaskan bahwa penurunan harga global yang signifikan menjadi tantangan utama bagi perusahaan di sektor ini.
“Harga batubara kalori rendah turun drastis, dan margin keuntungan menjadi sangat tipis. Biaya produksi di Aceh hampir sama dengan harga jual, seperti yang dialami oleh PT Mifa Bersaudara,” ujar Pocut Nurul, dilansir dari RRI.co.id, pada Selasa (31/12/2024).
Selain penurunan harga, perusahaan batubara di Aceh juga menghadapi tantangan dari regulasi, termasuk kewajiban sosial melalui program CSR (Corporate Social Responsibility), yang kini ditetapkan sebesar 3% dari penjualan.
Di sisi lain, tingginya stripping ratio juga menjadi hambatan besar dalam upaya menekan biaya operasional. Pocut menjelaskan bahwa stripping ratio yang tinggi memerlukan investasi besar untuk peralatan dan teknologi agar efisiensi dapat ditingkatkan, sesuatu yang sulit dilakukan dalam kondisi harga rendah.
“Misalnya, jika stripping ratio meningkat dari 4:1 menjadi 5:1, maka untuk mendapatkan 1 ton batubara, perusahaan harus mengupas tanah penutup (overburden) sebanyak 5 m³. Hal ini tentu saja meningkatkan biaya produksi,” ungkap Pocut.
Tantangan tersebut memperburuk prospek industri batubara kalori rendah di Aceh, yang umumnya menghadapi lebih banyak kendala dibandingkan batubara kalori tinggi.
Jika harga terus menurun, Pocut memperingatkan bahwa beberapa perusahaan mungkin terpaksa menghentikan operasional tambang yang tidak lagi layak secara ekonomi.
Namun demikian, ia menekankan perlunya strategi komprehensif dari pemerintah dan pemangku kepentingan untuk mendukung industri ini. Langkah-langkah seperti perbaikan kebijakan fiskal dan dukungan teknologi dianggap penting untuk meningkatkan efisiensi produksi.
“Prospek jangka pendek untuk batubara kalori rendah di Aceh memang tidak terlalu optimis, mengingat harga yang terus turun dan tingginya biaya produksi. Diperlukan inovasi dan kebijakan yang lebih mendalam untuk menyelamatkan industri ini,” pungkas Pocut.
Industri batubara di Aceh menghadapi masa-masa sulit pada 2024. Penurunan harga global dan tantangan produksi membuat masa depan sektor ini sangat bergantung pada kemampuan perusahaan dan dukungan pemerintah untuk bertahan di tengah tekanan pasar yang berat.