Bisnisia.id | Banda Aceh – Korupsi dana desa kembali mencuat sebagai isu penting, khususnya di Aceh, di mana penyalahgunaan anggaran desa masih menjadi penghambat utama pembangunan masyarakat.
Menurut laporan Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), sepanjang 2024, korupsi dana desa menjadi kasus korupsi terbanyak, dengan 16 dari total 31 kasus yang terungkap. Kerugian negara akibat kasus-kasus tersebut mencapai Rp56,8 miliar.
Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian, mengungkapkan bahwa korupsi dana desa bukanlah masalah baru.
“Dana desa ini sering disalahgunakan, baik untuk kepentingan pribadi maupun kelompok. Modusnya beragam, mulai dari proyek fiktif hingga penyalahgunaan anggaran negara,” ungkap Alfian dalam konferensi pers ‘Tren Penindakan Kasus Korupsi di Aceh tahun 2024’ di kantor MaTA, Banda Aceh, pada Rabu (08/01/2024).
Modus dan Penyebab Korupsi Dana Desa
Ia menambahkan bahwa praktik korupsi ini bukan karena ketidaktahuan tata kelola keuangan desa, melainkan lebih sering merupakan tindakan yang disengaja dan sistematis. Menurut Alfian, korupsi dana desa kerap kali sudah direncanakan sejak awal, bahkan sebelum pelaksanaan program.
“Ini bukan soal ketidaktahuan, tapi memang direncanakan untuk memperkaya diri sendiri atau pihak lain,” tegas Alfian.
Ia juga menyoroti bahwa fokus aparat penegak hukum di Aceh lebih banyak pada kasus-kasus korupsi skala kecil di tingkat desa.
“Kita berharap kejaksaan dan kepolisian lebih serius menangani kasus besar yang melibatkan afiliasi politik atau pengaruh kekuasaan. Hari ini korupsi sudah sangat vulgar, tapi masih banyak kasus besar yang belum disentuh,” ungkap Alfian.
Kritik terhadap Vonis Ringan dan Kasus yang Belum Tuntas
Maraknya vonis bebas bagi pelaku korupsi juga menjadi perhatian. Berdasarkan catatan MaTA, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di Aceh telah memutuskan vonis bebas pada 26 kasus korupsi. Banyak di antaranya akhirnya dikoreksi melalui kasasi di Mahkamah Agung.
“Ini menunjukkan adanya kesalahan serius dalam proses peradilan tingkat pertama,” tegas Alfian.
Ia memberikan contoh kasus korupsi dana yang dialokasikan untuk penanganan bencana, seperti proyek Westafel. Meski terbukti bersalah, terdakwa hanya dijatuhi hukuman satu tahun penjara.
“Korupsi yang dilakukan saat negara sedang dalam keadaan bencana seharusnya dihukum lebih berat. Vonis ringan seperti ini tidak memberikan efek jera,” tambah Alfian.
Dampak Langsung pada Kemiskinan Desa
Korupsi dana desa tidak hanya menjadi persoalan hukum, tetapi juga memperparah kemiskinan di Aceh. Berdasarkan data dari Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Gampong (DPMG), sebanyak 33 desa di Aceh masuk dalam kategori sangat tertinggal.
“Tingginya angka kemiskinan di desa-desa ini tidak lepas dari penyalahgunaan anggaran desa,” ungkap Alfian. Ia mendesak DPMG untuk lebih proaktif dalam mengintervensi desa tertinggal dengan perencanaan anggaran yang lebih baik dan tepat sasaran.
“Anggaran desa harus difokuskan untuk mengurangi kemiskinan, bukan memperkaya segelintir orang,” tegasnya.
Di tahun 2025, Alfian berharap ada perubahan signifikan dalam tata kelola keuangan desa di Aceh. Ia mengingatkan bahwa pemerintah daerah, khususnya gubernur yang terpilih nanti, memiliki tugas besar untuk memperbaiki sistem dan menindak tegas para pelaku korupsi.
“Korupsi adalah salah satu faktor utama kemiskinan di Aceh. Jika tidak segera diberantas, upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat akan sia-sia,” pungkas Alfian