Bisnisia.ID, Banda Aceh – Ketua Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah Aceh, Zul Hafiyan, menyampaikan kritik keras terhadap banyaknya perusahaan perkebunan kelapa sawit yang memegang Hak Guna Usaha atau HGU sawit di Aceh namun tidak melaksanakan kewajiban plasma. Program plasma, yang seharusnya menjadi bentuk kerjasama antara perusahaan dengan masyarakat sekitar, dinilai diabaikan oleh banyak perusahaan sawit besar.
“Seharusnya perusahaan-perusahaan sawit yang memiliki HGU diwajibkan untuk bekerja sama dengan masyarakat melalui program plasma. Ini adalah bentuk tanggung jawab perusahaan untuk membina masyarakat, khususnya para petani sawit, agar dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan mereka,” ujar pria yang kerap disapa Yayan ini kepada Bisnisia.ID, Selasa (22/10/2024).
Pemegang konsesi HGU sawit diwajibkan menerapkan 20 persen kebun plasma untuk rakyat dan 80 persen perkebunan inti. Hal itu diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan yang mewajibkan setiap perusahaan perkebunan memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar paling rendah seluas 20 persen dari total luas areal kebun yang diusahakan.
Selain itu dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Pertanian disebutkan dalam melakukan kemitraan dengan masyarakat perusahaan perkebunan harus memiliki lahan minimum 2O persen dari luas lahan yang diusahakan sendiri.
Ia menambahkan, selama ini petani sawit lokal kerap mengalami kesulitan karena kurangnya pengetahuan tentang teknik menanam sawit, terutama dalam hal memilih bibit yang berkualitas dan melakukan perawatan yang baik. Akibatnya, hasil panen petani jauh lebih rendah dibandingkan dengan perusahaan besar.
“Tandan Buah Segar (TBS) dari perkebunan masyarakat paling tinggi hanya 20 kg, sedangkan perusahaan bisa mencapai 60 kg per TBS,” jelas Yayan.
Yayan juga menyoroti praktik curang yang dilakukan oleh sejumlah perusahaan sawit. Menurutnya, beberapa perusahaan melaporkan telah menjalankan plasma, padahal kenyataannya lahan yang diklaim sebagai plasma tetap dikelola oleh perusahaan sendiri.
“Ini modus nakal yang perlu ditindak tegas oleh pemerintah,” katanya.
Lebih lanjut, Yayan mendesak pemerintah untuk bertindak lebih serius dalam mengawasi pelaksanaan program plasma ini. “Pemerintah selaku pihak yang memberikan izin perkebunan dan pabrik kelapa sawit harus lebih tegas dalam meneliti dan menindak pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan,” tegasnya.
Selain masalah plasma, Yayan juga menyoroti keterbatasan Aceh dalam memanfaatkan produk turunan kelapa sawit. Menurutnya, Aceh hanya mampu menghasilkan Crude Palm Oil (CPO), sementara produk turunan dengan nilai jual tinggi seperti minyak goreng dan produk kecantikan belum banyak dikembangkan di daerah tersebut.
“Padahal, produk sawit memiliki banyak potensi untuk dikembangkan menjadi berbagai produk turunan yang bernilai pasar tinggi, terutama di bidang kecantikan dan makanan,” ujar Yayan.
Isu tentang plasma sawit ini sudah lama dibicarakan, bahkan sejak masa kepemimpinan Gubernur Irwandi Yusuf, namun hingga kini belum ada penyelesaian yang konkrit.
“Jika plasma dijalankan dengan baik, masyarakat di sekitar perkebunan bisa meningkatkan ekonomi mereka, sekaligus mendapatkan edukasi teknologi tentang bagaimana mengelola perkebunan sawit yang kompetitif,” tutupnya.
Dalam diskusi yang digelar oleh Jurnalis Ekonomi Aceh (JEA), Sekretaris Dinas Pertanian dan Perkebunan Aceh Azanuddin Kurnia mengatakan sektor perkebunan sawit menjadi sandaran hidup bagi 800.000 penduduk Aceh. Namun, dia menilai produktivitas perkebunan kelapa sawit rakyat masih rendah dibandingkan dengan milik perusahaan.
Azanuddin mendorong agar petani, asosiasi, dan perusahaan untuk bersama-sama mengembangkan kelapa sawit rakyat agar para petani memperoleh pendapatan yang tinggi.