Bisnisia.id | Banda Aceh – Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI asal Aceh, Sudirman atau yang dikenal Haji Uma, menyoroti maraknya kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di Aceh.
Ia mengungkapkan adanya indikasi keterlibatan oknum tertentu yang mempermudah jaringan perdagangan manusia menjalankan aksinya, terutama dalam pengurusan dokumen resmi.
“Berdasarkan laporan, paspor yang bermasalah itu rata-rata bermuara di Kota Langsa. Saya tidak menuduh bahwa Langsa telah melanggar praktik hukum, tetapi disinyalir ada kemudahan yang diberikan oleh oknum. Ini menjadi salah satu celah yang dimanfaatkan oleh pelaku,” ujar Haji Uma dalam sebuah dialog, dikutip dari kanal Youtube rri_bandaaceh, Selasa (15/1/2025).
Haji Uma menjelaskan bahwa jaringan TPPO di Aceh menggunakan berbagai modus untuk menarik korban. Salah satu caranya adalah menawarkan pekerjaan di luar negeri dengan iming-iming gaji besar, seperti bekerja di warung makan atau perusahaan tambang. Sayangnya, banyak dari tawaran tersebut tidak memiliki kejelasan legalitas dan kontrak kerja.
“Modus yang mereka gunakan semakin rapi. Mereka menawarkan pekerjaan di luar negeri, misalnya di Malaysia atau Australia, tetapi tanpa dokumen resmi. Ini membuat korban rentan menjadi bagian dari perdagangan manusia,” kata Haji Uma.
Keterlibatan oknum
Ia juga menekankan pentingnya pengawasan lebih ketat terhadap proses administrasi, termasuk penerbitan paspor. “Pembuatan paspor harus dilakukan dengan sangat selektif, karena ini sering menjadi awal mula masuknya korban ke dalam jaringan TPPO,” tambahnya.
Baca juga: Tiga Tahun Sebanyak 612 Pekerja Migran Ilegal Aceh Dipulangkan
Haji Uma menyerukan agar semua pihak, mulai dari pemerintah, aparat penegak hukum, hingga masyarakat, bekerja sama untuk mengatasi masalah ini. Menurutnya, pengawasan di tingkat desa dan kampung sangat penting untuk mencegah infiltrasi jaringan TPPO.
“Semua unsur di desa, di kampung, dan di kabupaten harus menjadi pagar betis. Informasi sekecil apa pun dari masyarakat harus ditindaklanjuti. Ini adalah tanggung jawab bersama,” tegasnya.
Ia juga menyebutkan bahwa sudah ada beberapa orang yang terindikasi sebagai bagian dari jaringan TPPO di beberapa wilayah Aceh. “Mereka harus segera ditangani agar jaringan ini tidak semakin meluas,” ujarnya.
Haji Uma mengapresiasi langkah pemerintah, seperti kampanye kesadaran oleh sejumlah lembaga terkait, namun ia menilai upaya tersebut belum cukup efektif. Menurutnya, tingginya angka keberangkatan tenaga kerja non-prosedural menunjukkan masih lemahnya pengawasan dan sosialisasi.
“Kampanye tentang bahaya bekerja tanpa dokumen resmi sudah dilakukan, tetapi grafik keberangkatan tenaga kerja non-prosedural masih tinggi. Ini menunjukkan bahwa pendekatan yang dilakukan belum cukup efektif. Pemerintah harus mencari metode baru yang lebih menyentuh masyarakat,” katanya.
Haji Uma berharap dengan adanya kolaborasi antara pemerintah, aparat penegak hukum, dan masyarakat, jaringan TPPO di Aceh dapat segera dihentikan. Ia juga menegaskan bahwa kolusi dan kejahatan sistematis seperti ini tidak boleh dibiarkan terus berkembang.
“Ini adalah kejahatan yang sangat serius dan merusak martabat manusia. Kita harus bersama-sama melawan TPPO agar Aceh bisa terbebas dari ancaman ini,” pungkasnya.
Balai Pelayanan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI) Aceh mencatat peningkatan signifikan dalam pemulangan pekerja migran ilegal asal Provinsi Aceh selama tiga tahun terakhir. Sebanyak 612 pekerja migran ilegal berhasil difasilitasi kepulangannya oleh BP3MI Aceh dalam periode 2022 hingga 2024.
Kepala BP3MI Aceh, Siti Rolijah, mengatakan bahwa seluruh pekerja migran yang dipulangkan berstatus ilegal karena tidak terdaftar dalam sistem pemerintah Indonesia.
Modus operandi sindikat perdagangan orang (TPPO) kian berkembang. Korban sering kali dijanjikan pekerjaan dengan penghasilan tinggi tanpa memerlukan keahlian khusus, seperti operator game online atau pelayan restoran. Bahkan, untuk meyakinkan korban, mereka diberi uang muka atau difasilitasi pembuatan dokumen palsu.
Lebih memprihatinkan lagi, kata Siti Rolijah, banyak korban yang direkrut masih berusia muda atau bahkan di bawah usia remaja. Minimnya pemahaman informasi tentang kerja ke luar negeri, ditambah faktor ekonomi dan gaya hidup, membuat mereka mudah terjerat.
Tantangan terbesar BP3MI Aceh adalah tingginya angka pekerja migran ilegal yang tetap berangkat meskipun telah diberikan edukasi. “Ada yang memahami aturan tetapi tetap mengabaikan. Sementara itu, banyak juga yang belum tahu pentingnya mematuhi prosedur resmi,” kata Siti Rolijah.