Bisnisia.id | Banda Aceh – Masalah perambahan hutan di Aceh kembali menjadi sorotan, kali ini dengan temuan sawit ilegal yang diduga dijual hingga ke pasar Eropa dan Asia. Munandar, Koordinator Forum Jurnalis Lingkungan (FJL), menyampaikan kondisi terkini perambahan hutan di Aceh Tamiang, Aceh Selatan, dan Rawa Singkil. Hutan lindung yang seharusnya menjadi kawasan konservasi kini perlahan dibabat dan diubah menjadi perkebunan sawit.
“Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) di Aceh Tamiang dan Suaka Margasatwa Rawa Singkil menjadi contoh nyata bagaimana hutan lindung dirambah untuk sawit. Di Singkil saja, lebih dari seribu hektare telah dirambah,” ungkap Munandar menjawab Bisnisia.id, Jumat (9/1/2025).
Sawit yang ditanam di kawasan ini kini sudah bisa dipanen, meski jelas melanggar aturan konservasi. Sawit-sawit dari hutan seharusnya dilarang masuk ke pasar global.
Munandar menjelaskan bahwa pelaku utama perambahan ini adalah oknum-oknum tertentu. Mereka membuka lahan, menanam sawit, dan menjual hasilnya ke pabrik-pabrik pengolahan minyak kelapa sawit (PKS). Di beberapa tempat, bahkan ada oknum yang memanfaatkan kekuasaan untuk melancarkan aksi ilegal ini.
“Di daerah Rawa Singkil, kebanyakan pemiliknya adalah pengusaha individu. Mereka memiliki dana besar untuk membuka lahan, kemudian bekerja sama dengan warga lokal. Sawit yang dihasilkan dijual secara acak ke berbagai pabrik pengolahan minyak,” jelas Munandar.
Di sisi lain, kawasan TNGL juga menjadi target perambahan, dengan pohon-pohon berkualitas ditebang dan diganti dengan sawit.
Penanaman sawit secara masif di kawasan konservasi membawa dampak buruk bagi lingkungan. Munandar menyoroti bahwa sawit memiliki kemampuan minim dalam menyerap air. Akibatnya, kawasan dengan dominasi sawit menjadi lebih rentan terhadap banjir dan kekeringan.
“Banjir di Aceh Tamiang pada awal 2024 menjadi salah satu contoh nyata dampak buruk sawit. Selama berminggu-minggu, air tidak terserap dengan baik karena sawit tidak memiliki kemampuan seperti pohon-pohon hutan asli. Di musim kemarau, kawasan ini juga menjadi sangat kering,” tambah Munandar.
Sawit ilegal dari kawasan konservasi seperti Rawa Singkil kerap dijuluki “sawit haram”. Munandar menjelaskan bahwa sawit ini dijual secara random ke pabrik pengolahan. Namun, semakin banyak perusahaan di luar negeri yang menolak membeli sawit dari kawasan konservasi setelah dilakukan investigasi bersama LSM internasional.
“Ada upaya dari pabrik-pabrik besar untuk memastikan sumber sawit mereka. Jika terdeteksi berasal dari kawasan konservasi, sawit itu ditolak dan tidak diterima,” ujar Munandar.
Meski begitu, masih ada oknum nakal yang memanipulasinya untuk menjual sawit ilegal ini sebagai produk legal bahkan hingga ke luar negeri.
Sawit dari Aceh, biasanya diproses di pabrik sebelum dikirim ke pelabuhan seperti Belawan untuk diekspor ke negara-negara seperti Singapura dan Malaysia. Dari sana, produk olahan sawit ini melanjutkan perjalanan ke pasar Eropa dan Asia lainnya.
“Sayangnya, meski banyak sawit dari kawasan konservasi ditolak, manipulasi masih terjadi. Namun, kami mendukung langkah tegas pihak luar negeri yang menolak sawit dari kawasan konservasi,” kata Munandar.
Langkah ini memberikan tekanan kepada pengusaha nakal agar menghentikan aktivitas mereka di kawasan konservasi.
Forum Jurnalis Lingkungan terus mengampanyekan perlindungan hutan konservasi di Aceh. Melalui film dokumenter berjudul “Demi Sawit”, mereka menyoroti bagaimana sawit merusak ekosistem hutan.
“Sawit boleh ditanam, tetapi harus di kawasan yang telah ditentukan, bukan di hutan lindung atau konservasi,” pungkasnya.