Fenomena yang terjadi di pabrik dan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal di Indonesia masih terus berlanjut. Sejumlah pabrik diperkirakan akan melakukan efisiensi dengan jumlah PHK yang cukup besar pada tahun 2025.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN), Ristadi, mengungkapkan bahwa tiga perusahaan dikabarkan bersiap untuk melakukan PHK massal. Perusahaan ketiga tersebut bergerak di industri alas kaki dan tekstil, khususnya benang.
“Awal tahun 2025, sudah ada perusahaan yang berencana melakukan PHK. Lokasinya berada di Kabupaten Tangerang, Kabupaten Subang, dan Kabupaten Bandung,” ujar Ristadi seperti diberitakan CNBC Indonesia, Kamis (9/1/2025).
“Perusahaan di Kabupaten Tangerang yang memproduksi sepatu untuk merek internasional akan mem-PHK 2.400 pekerja,” ungkap Ristadi.
Sementara itu, dua pabrik lainnya tidak hanya akan melakukan PHK, tetapi juga bersiap untuk tutup. “Perusahaan di Kabupaten Bandung berencana tutup dan mem-PHK sekitar 900 pekerja. Sedangkan perusahaan di Subang juga akan tutup dengan jumlah PHK sekitar 750 pekerja,” jelasnya.
Ristadi menyebut penyebab utama adalah produk yang tidak laku dan kekurangan pesanan dari pembeli.
Ia menambahkan bahwa PHK di perusahaan-perusahaan ini bisa saja terjadi dalam jumlah yang lebih besar tanpa diketahui masyarakat. ”Perusahaan di Kabupaten Tangerang itu merupakan bagian dari grup perusahaan lain yang sebelumnya juga telah melakukan PHK.
Perusahaan ini selalu melakukan PHK secara tertutup. Sebelumnya, mereka memiliki sekitar 24 ribu pekerja, sekarang hanya tersisa sekitar 19 ribu. Kali ini, mereka akan mem- PHK sekitar 2.400 pekerja,” paparnya.
“Banyak perusahaan yang tidak melapor, sehingga data yang saya terima mungkin masih jauh dari kenyataan. Pada tahun 2025, ada pekerja yang menaikkan gaji, tetapi ada juga yang menangani ancaman PHK,” tambah Ristadi.
Akibatnya, menurutnya, angka PHK yang dilaporkan pemerintah seringkali lebih rendah dibandingkan kondisi sebenarnya. “Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) dan dinas-dinas tenaga kerja di daerah cenderung pasif, hanya menunggu laporan dari pengusaha terkait PHK,” katanya.
“Kadang, jika angka PHK tinggi, informasi tersebut tidak diungkapkan karena alasan politik. Kepala daerah khawatir dicap buruk kinerjanya, apalagi jika sedang bersiap maju kembali dalam pemilu,” pungkas Ristadi.