Bisnisia.id | Jakarta – PT Pertamina (Persero) semakin menunjukkan komitmennya dalam mendukung transisi energi Indonesia dengan menjadikan biofuel, atau bahan bakar berbasis tanaman, sebagai salah satu pilar utama strategi energi masa depan.
Langkah ini sejalan dengan tujuan pemerintah untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil, memperkenalkan solusi energi rendah karbon, dan mempercepat upaya dekarbonisasi sektor transportasi di Indonesia.
John Anis, CEO Pertamina New & Renewable Energy (PNRE), menegaskan bahwa pihaknya telah mengambil peran pionir dalam bisnis energi rendah karbon di lingkungan Pertamina Grup.
PNRE, yang bertugas mengembangkan energi baru terbarukan (EBT) dan biofuel, telah merumuskan rencana besar untuk meningkatkan kapasitas pembangkit EBT dan memperluas produksi bioetanol hingga tahun 2031.
“Kami menyebut strategi ini sebagai ‘pertumbuhan ganda’, karena meskipun kami terus memaksimalkan produksi bahan bakar fosil yang lebih bersih, kami juga berfokus pada pengembangan bisnis rendah karbon. Ini adalah dual approach yang kami jalankan untuk mendukung transisi energi Indonesia,” ujar John.
Dalam pencapaian ini, PNRE memiliki peta jalan pengembangan bioetanol yang ambisius hingga tahun 2031.
Proyeksi demand untuk biofuel diperkirakan akan mencapai 51 juta liter pada tahun 2034, sebuah angka yang menunjukkan potensi besar dalam kebutuhan bahan bakar terbarukan di sektor transportasi.
Sebagai bagian dari upaya tersebut, Pertamina bekerja sama dengan PT Sinergi Gula Nusantara (SGN) untuk membangun pabrik bioetanol di Banyuwangi.
Pabrik ini akan memiliki kapasitas produksi 30 ribu kiloliter per tahun, yang memanfaatkan molase sebagai bahan baku utama tanpa mengganggu produksi gula lokal.
“Kami juga berencana untuk meningkatkan kapasitas produksi bioetanol melalui reaktivasi pabrik di Banyuwangi, Glenmore, yang akan memanfaatkan molase dari tebu, sehingga memberikan dampak positif bagi petani dan masyarakat setempat,” lanjut John.
Laporan Indonesia Carbon Trading menjelaskan, PNRE telah memiliki peta jalan pengembangan bioetanol hingga 2031 untuk mendukung dekarbonisasi di sektor transportasi.
Hingga 2034 mendatang, menurutnya proyeksi demand atas biofuel bisa mencapai 51 juta liter.
Adapun saat ini Pertamina NRE bekerja sama dengan PT Sinergi Gula Nusantara (SGN) berencana membangun pabrik bioetanol di Banyuwangi dengan kapasitas produksi 30 ribu kiloliter (KL) per tahun.Handbook oleh katadata
Namun, upaya Pertamina dalam pengembangan biofuel tidak hanya terbatas pada bioetanol. PNRE juga telah melangkah lebih jauh dengan menjadi pemain utama dalam perdagangan kredit karbon di Indonesia.
Hingga saat ini, Pertamina NRE menguasai 93 persen pangsa pasar kredit karbon, yang berasal tidak hanya dari pembangkit listrik energi rendah karbon, tetapi juga dari inisiatif Nature Based Solutions (NBS), yang mendukung keberlanjutan dan perlindungan lingkungan.
Sejak memulai perdagangan karbon di bursa karbon pada tahun lalu, Pertamina NRE telah berhasil menjual 864 ribu ton CO2 kredit karbon.
Inisiatif NBS yang dijalankan perusahaan ini melibatkan berbagai mitra strategis untuk mempercepat transisi energi di Indonesia.
“Untuk mencapai target 75 GW kapasitas listrik berbasis EBT dalam 15 tahun mendatang, kami membutuhkan kolaborasi intensif. Kolaborasi ini akan memungkinkan kami untuk mendorong investasi yang lebih agresif di sektor EBT, serta menjadikan energi terbarukan lebih terjangkau dan mudah diakses oleh masyarakat,” jelas John.
Dukungan terhadap pengembangan biofuel ini juga diperkuat oleh Wakil Ketua MPR RI, Eddy Soeparno, yang dalam sebuah sesi panel di COP29 menyatakan bahwa Indonesia memiliki potensi besar dalam pengembangan sumber biofuel.
Program B35 yang dilaksanakan oleh Pertamina, yang mencampur biodiesel 35 persen dari minyak kelapa sawit (CPO), telah menjadi contoh konkrit upaya Indonesia dalam menurunkan emisi karbon.
“Indonesia memiliki sumber biofuel yang melimpah, seperti tebu dan singkong, yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar nabati. Program B35 yang saat ini sedang berjalan, adalah salah satu langkah penting untuk menurunkan emisi karbon secara signifikan,” ujar Eddy.
Eddy juga menyoroti keberhasilan Indonesia dalam mengembangkan Sustainability Aviation Fuel (SAF), bahan bakar penerbangan berbasis biofuel, termasuk dari minyak goreng bekas.
SAF Indonesia kini telah teruji dan berhasil dicampur 5 persen dengan bahan bakar penerbangan konvensional. Uji coba pertama dilakukan sekitar dua tahun lalu, dan hasilnya menunjukkan potensi besar dalam pengurangan emisi penerbangan.
Dengan berbagai langkah strategis ini, Pertamina tidak hanya berperan aktif dalam mendukung transisi energi yang lebih bersih dan berkelanjutan, tetapi juga membuka jalan bagi pengembangan industri biofuel yang lebih luas di Indonesia.
Masyarakat, pemerintah, dan sektor swasta diharapkan dapat terus bekerja sama untuk menciptakan solusi energi yang ramah lingkungan dan mendukung masa depan yang lebih hijau