Bisnisia.id | Banda Aceh – Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian mengungkapkan bahwa praktik korupsi di Aceh dalam dekade terakhir telah menyebabkan kerugian negara yang signifikan.
Berdasarkan hasil pemantauan MaTA, kerugian tersebut rata-rata mencapai Rp 500 miliar hingga Rp 750 miliar per tahun.
Angka tersebut setara dengan biaya pembangunan sekitar 9.000 rumah bagi kaum duafa di Aceh atau hampir mendekati satu tahun anggaran program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA), yang saat ini mencapai Rp 850 miliar per tahun.
Menurut Alfian, data ini diperoleh dari audit kerugian negara yang dilakukan penegak hukum.
“Kasus-kasus yang kami monitoring adalah yang sudah ditetapkan status tersangka oleh kepolisian atau kejaksaan. Angka ini bukan estimasi, tetapi perhitungan kerugian negara yang diminta oleh penyidik,” ujarnya kepada Bisnisia.id, Senin (18/11/2024).
Alfian menjelaskan bahwa sektor pengadaan barang dan jasa merupakan area dengan potensi korupsi tertinggi di Aceh. Kasus yang ditemukan meliputi pembangunan fisik dengan kualitas buruk hingga pembangunan fiktif.
“Masalah terbesar tidak hanya kualitas pembangunannya, tetapi juga praktik commitment fee yang masih marak terjadi,” kata Alfian.
Selain itu, dana desa yang dikelola di tingkat gampong juga menjadi sorotan. Banyak kepala desa terlibat dalam kasus korupsi karena lemahnya pengawasan dan sistem pengelolaan anggaran.
“Dana desa, yang sudah masuk tahun ke-9, seharusnya membawa manfaat besar, tetapi malah sering menjadi celah korupsi,” tambahnya.
MaTA menekankan pentingnya membangun sistem pencegahan yang komprehensif, mulai dari perencanaan hingga penganggaran.
“Korupsi hari ini tidak hanya terjadi pada tahap pelaksanaan, tetapi sudah muncul sejak perencanaan. Tanpa sistem yang kuat, penyalahgunaan wewenang akan terus terjadi,” jelas Alfian.
Ia juga mengingatkan bahwa Aceh, sebagai daerah yang menjunjung tinggi nilai syariat Islam, harus memberikan contoh dalam tata kelola yang bersih.
“Ironisnya, tindak pidana korupsi di Aceh justru meningkat, meskipun kita sering berbicara soal nilai-nilai syariat Islam,” katanya.
Alfian berharap pemerintah Aceh segera merespons masalah ini dengan serius, tanpa menunggu pergantian kepala daerah.
Ia menilai upaya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang aktif memantau Aceh sudah baik, namun ia menekankan bahwa inisiatif utama untuk pencegahan korupsi harus datang dari pemerintah daerah sendiri.
“Sistem anti-korupsi harus menjadi fondasi dalam tata kelola pemerintahan. Jika tidak ada langkah nyata, potensi penyimpangan akan terus meningkat, dan kesejahteraan masyarakat Aceh akan semakin jauh dari harapan,” tutup Alfian.
MaTA berkomitmen untuk terus memantau dan melaporkan kondisi korupsi di Aceh setiap tahun, guna mendorong transparansi dan akuntabilitas di semua lini pemerintahan.