Bisnisia.id | Aceh Jaya – Masih adanya perusahaan kelapa sawit di Kabupaten Aceh Jaya, Provinsi Aceh, yang tidak memiliki sertifikat Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dapat merugikan daerah. Selain tidak ada jaminan pengelolaan lingkungan yang benar, daya saing di pasar global juga menjadi rendah.
Kepala Bidang Perkebunan pada Dinas Pertanian Aceh Jaya, Eddi Feferiandi, yang dihubungi dari Aceh Barat pada Senin (6/1/2025), menyebutkan bahwa dari sekian banyak perusahaan sawit di Aceh Jaya, hanya satu yang sudah sepenuhnya memperoleh ISPO.
ISPO adalah sertifikat wajib yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia untuk memastikan praktik perkebunan kelapa sawit sesuai dengan standar ramah lingkungan dan berkelanjutan. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia, pada 2025 semua perusahaan kelapa sawit wajib memiliki ISPO.
“Kami mendorong semua perusahaan sawit untuk mematuhi kewajiban ISPO. Surat edaran dari pemerintah provinsi sudah kami teruskan sejak tahun 2024, namun hingga kini, belum ada koordinasi lebih lanjut dari beberapa perusahaan,” ujar Eddi.
Eddi menyebutkan bahwa PT Dutasawit Mas adalah salah satu perusahaan yang belum memiliki ISPO. “Perusahaan ini belum terlalu aktif, sehingga proses sertifikasi ISPO belum dilakukan. Berbeda dengan perusahaan lain seperti Juliprima Kentjana dan PT ASN. Dari lima perusahaan sawit di Aceh Jaya, baru PT Syaukath yang telah sepenuhnya bersertifikat ISPO,” kata Eddi.
Eddi menambahkan bahwa ketidakpatuhan perusahaan terhadap ISPO membawa dampak negatif baik secara ekonomi maupun lingkungan. Dari sisi ekonomi, Eddi menjelaskan bahwa sertifikasi ISPO meningkatkan daya saing harga minyak sawit mentah (CPO) di pasar internasional. Tanpa ISPO, penjualan keluar daerah akan terkendala dan harga komoditas dapat turun.
“Ini jelas merugikan daerah,” tegasnya.
Dari sisi lingkungan, sertifikasi ISPO memastikan bahwa pengelolaan perkebunan dilakukan sesuai dengan standar lingkungan yang ditetapkan. Jika tidak, dampaknya terhadap lingkungan sekitar bisa sangat buruk.
“ISPO juga memeriksa pengelolaan lingkungan di perusahaan. Jika diabaikan, kerusakan lingkungan bisa terjadi,” tambahnya.
Selain itu, PT Dutasawit Mas juga belum menjalankan kewajiban plasma, yaitu program kemitraan dengan petani setempat. Hal ini berbeda dengan perusahaan lain di Aceh Jaya, seperti Juliprima Kentjana dan PT ASN, yang telah melaksanakan komitmen melalui program plasma. Ketidakpatuhan ini menambah beban sosial di masyarakat sekitar perkebunan.
Langkah dan Sanksi
Pemerintah Kabupaten Aceh Jaya telah berupaya mendorong perusahaan sawit untuk memenuhi standar ISPO. Eddi menyebutkan bahwa pihaknya telah membentuk grup koordinasi sejak tahun 2024 dan secara rutin berkomunikasi dengan perusahaan serta pemerintah provinsi. Meski begitu, respons dari beberapa perusahaan masih minim.
Terkait sanksi, Eddi menegaskan bahwa pemerintah daerah akan mengikuti keputusan pusat. “Jika pemerintah menetapkan sanksi, seperti denda atau pencabutan izin, kami akan mendukungnya. Namun, dampaknya bagi daerah juga harus diperhitungkan. Misalnya, jika izin dicabut, penjualan TBS (tandan buah segar) akan terganggu, tenaga kerja terancam PHK, dan petani kesulitan menjual hasil panen,” jelasnya.
Kasus banyaknya perusahaan sawit di Aceh Jaya yang belum mengantongi sertifikat ISPO menunjukkan perlunya langkah tegas dan strategis dari pemerintah. Ketidakpatuhan terhadap regulasi ISPO tidak hanya berpotensi merusak lingkungan, tetapi juga berdampak pada perekonomian daerah.
Pemerintah daerah dan pusat perlu meningkatkan koordinasi, sosialisasi, dan penegakan hukum agar standar ISPO dapat diterapkan secara merata. Dengan demikian, industri sawit Aceh Jaya dapat berkontribusi lebih baik terhadap pembangunan berkelanjutan.[]