Bisnisia.id | Banda Aceh – Pelaksana Harian (Plh) Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Aceh, Feriyana, mengatakan bahwa persoalan tata ruang, regulasi, dan tingginya Upah Minimum Provinsi (UMP) menjadi hambatan utama dalam upaya merealisasikan investasi di Aceh.
Hal ini disampaikannya dalam diskusi bertajuk ‘Realisasi Investasi Aceh Tahun 2024 dan Peluang Investasi di Tahun Mendatang’ yang digelar Jurnalis Ekonomi Aceh (JEA) di Banda Aceh, Senin (16/12/2024).
Feriyana menjelaskan bahwa ketersediaan lahan yang clean and clear seringkali menjadi kendala awal bagi investor. Selain itu, kebijakan tata ruang yang tidak sejalan dengan kebutuhan investasi juga turut memperlambat proses realisasi.
“Kita sering menemukan lahan yang sebenarnya siap untuk investasi, tetapi terkendala peruntukan tata ruang yang tidak sesuai. Misalnya, sebuah lahan yang direncanakan untuk pabrik minyak goreng ternyata diperuntukkan sebagai kawasan perikanan,” ujarnya.
Selain masalah tata ruang, Feriyana menyoroti kebijakan dari pemerintah pusat yang kerap menjadi tantangan. Salah satunya adalah moratorium pendirian pabrik semen yang menghambat investasi di Laweung, Pidie dan Aceh Selatan.
Padahal, menurut kajian awal, ketersediaan sumber daya di kedua daerah tersebut sudah sangat memadai.
“Kami berharap pemerintah pusat dapat melonggarkan moratorium ini agar investasi bisa direalisasikan. Hal ini akan memberikan dampak positif bagi perekonomian Aceh,” tambahnya.
Lebih lanjut, Feriyana juga menyinggung tingginya Upah Minimum Provinsi (UMP) Aceh sebagai salah satu faktor yang menghambat penyerapan tenaga kerja dan daya tarik investasi di daerah tersebut. Menurutnya, permintaan UMP yang tinggi dapat menjadi beban bagi investor, terutama bagi sektor padat karya seperti UMKM dan industri.
“Ketika kita menuntut upah tenaga kerja yang tinggi, ini menjadi tantangan tersendiri. Penyerapan tenaga kerja menjadi sulit karena banyak investor merasa terbebani oleh biaya tenaga kerja yang tinggi di Aceh. Ini perlu menjadi perhatian agar tidak menghambat perkembangan investasi,” jelasnya.
Kendati demikian, DPMPTSP Aceh tetap optimis dapat mencapai target investasi sebesar Rp11,13 triliun pada tahun 2024. Hingga triwulan ketiga tahun ini, realisasi investasi di Aceh telah mencapai Rp6,89 triliun atau sekitar 61 persen dari target.
Feriyana juga menekankan pentingnya hilirisasi di sektor perkebunan, terutama sawit, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. “Aceh memiliki potensi besar di sektor perkebunan sawit. Ketersediaan bahan baku sudah mencukupi, dan kami menargetkan pendirian pabrik minyak goreng sebagai langkah hilirisasi,” tuturnya.
Selain itu, sektor pariwisata juga menjadi fokus DPMPTSP Aceh, terutama wisata islami dan berkelanjutan di Sabang dan Aceh Tengah. Kerjasama dengan berbagai pihak, termasuk investor internasional, tengah dijajaki untuk mendorong sektor ini.
Feriyana berharap dengan penyelesaian hambatan tata ruang, perbaikan regulasi, serta solusi terkait tingginya UMP, iklim investasi di Aceh akan semakin kondusif. Hal ini diharapkan dapat menarik minat investor dan mendorong pertumbuhan ekonomi di Tanah Rencong.