Bisnisia.id | Aceh Barat Daya – Warga Kecamatan Babahrot, Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya), mendesak Muzakir Manaf (calon Gubernur Aceh) dan Safaruddin (Calon Bupati Aceh Barat Daya) turun tangan menyelesaikan sengketa lahan yang melibatkan PT Due Perkasa Lestari (PT DPL). Sejumlah 28 kelompok usaha perkebunan yang beranggotakan lebih dari 250 orang ini, saat ini tengah menggugat izin usaha perkebunan PT DPL melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Banda Aceh.
Melalui hitung cepat Muzakir Manaf memenangkan Pilkada Aceh dan Safaruddin terpilih sebagai Bupati Aceh Barat Daya. Kepada kedua tokoh itu warga berharap ada kemajuan penyelesaian sengketa lahan.
Para warga yang terhimpun dalam gugatan ini meminta perhatian Pemprov Aceh dan Pemkab Abdya memprioritaskan penyelesaian sengketa ini demi keadilan rakyat.
Koordinator Kelompok, Rusli Ali, yang akrab disapa Yahwa, menyampaikan, “Kami ini semua pendukung Mualem dan Safaruddin dalam pemilu. Kami mohon bantuannya untuk menyelesaikan masalah lahan ini. Ini sudah bertahun-tahun kami perjuangkan, dan kami butuh bantuan mereka agar tanah kami bisa kembali,” kata Rusli, Sabtu (30/11/2024).
Gugatan Hukum untuk Kembalikan Hak Tanah
Sengketa lahan ini berawal sejak 2012, saat PT DPL menguasai sekitar 2.600 hektar tanah yang sebelumnya merupakan lahan milik warga. Dari total luas tersebut, sekitar 800 hektar tanah diketahui milik warga dan sudah digarap oleh mereka. Warga yang terdampak sudah mengumpulkan bukti kepemilikan tanah melalui surat-surat tanah masa lalu, dan kini mereka berharap dapat mendapatkan kembali hak atas tanah mereka.
Pada 22 November 2024, warga yang didampingi oleh Forum Bangun Investasi Aceh (Forbina) dan MRM & Associates Law Firm sebagai kuasa hukum, resmi mengajukan gugatan ke PTUN Banda Aceh dengan nomor perkara No.45/G/2024/PTUN.BNA. Gugatan ini diajukan sebagai langkah hukum untuk mendapatkan kembali tanah yang diduga telah diserobot oleh PT DPL.
“Gugatan ini adalah upaya kami untuk mendapatkan keadilan. Kami hanya menuntut hak kami atas 800 hektar dari 2.600 hektar yang dikuasai PT DPL,” tegas Yahwa.
Sebagai bentuk protes, warga Babahrot bersama Forbina memasang spanduk di 10 titik lokasi di sekitar lahan sengketa. Spanduk tersebut bertuliskan: “Lahan Ini dalam Sengketa Hukum Nomor Perkara 45/G/2024/PTUN.BNA. Masyarakat Bersama Forbina Menggugat Gubernur Aceh Atas Izin Usaha Perkebunan PT Due Perkasa Lestari.”
Pemasangan spanduk ini dilakukan pada Sabtu, 30 November 2024, di lokasi sengketa, dengan turut hadir kuasa hukum warga, Muhammad Nur, SH, yang juga Direktur Eksekutif Forbina. Warga membawa sepeda motor dan mobil pick-up untuk memasang spanduk dan berfoto bersama.
Menurut Muhammad Nur, izin yang diterbitkan oleh Gubernur Aceh pada tahun 2007 untuk PT DPL, melalui keputusan nomor P2TSP.525/4828/2007 tentang Izin Usaha Perkebunan, bertentangan dengan fakta di lapangan. Izin yang dikeluarkan untuk 2.600 hektar lahan itu terbit di atas tanah yang sudah dikelola oleh masyarakat melalui 28 kelompok tani.
“Dampak dari izin ini sangat besar. Kelompok tani kehilangan lahan mereka yang sebelumnya menjadi sumber penghidupan, karena perusahaan terus memperluas areal untuk kelapa sawit,” ujar Muhammad Nur.
Lebih lanjut, Forbina mengungkapkan bahwa izin tersebut tidak hanya cacat prosedural, tetapi juga cacat hukum. Lahan yang diberikan izin kepada PT DPL tidak sesuai dengan kondisi di lapangan. Selain itu, banyak temuan lain yang akan dibongkar dalam persidangan untuk mendukung gugatan ini.
Muhammad Nur menambahkan bahwa pemberian izin oleh Gubernur Aceh kepada PT DPL dapat dianggap sebagai perampasan tanah rakyat demi kepentingan investasi. “Seharusnya, di tengah krisis lapangan pekerjaan dan kemiskinan, serta pasca-konflik dan bencana, kebijakan pemerintah harus melindungi hak masyarakat, bukan malah menghilangkan wilayah kelola mereka,” ujarnya.
Forbina dan tim pengacara berharap agar PT DPL menghormati proses hukum yang sedang berlangsung dan menghentikan semua aktivitas di lapangan selama sengketa ini belum selesai. Mereka juga meminta agar Gubernur Aceh bertanggung jawab atas kebijakan yang merugikan masyarakat.