Di sebuah sudut perkebunan sepi Ujung Tanoh Darat, Kabupaten Aceh Barat, seorang pria tua berdiri di bawah naungan pohon-pohon karet yang menjulang.
Namanya Pak Acem (53), lelaki dengan kulit legam yang terbakar matahari, tangan yang kasar, dan sorot mata yang menyimpan kisah perjuangan. Dalam keheningan kebun seluas empat hektar miliknya, suara tetes-tetes getah karet yang jatuh ke dalam wadah kecil menjadi saksi perjalanan panjang seorang petani yang bertahan melawan waktu.
Pak Acem, bercerita ia telah mengabdikan dirinya pada usaha perkebunan karet selama lebih dari dua dekade.
Sejak memulai perjalanan ini setelah bencana tsunami Aceh tahun 2004, ia telah menjadi saksi perubahan signifikan dalam produksi dan dinamika harga getah karet. Produksi getah karet mengalami grafik yang beragam dari tahun 2020 hingga 2024.
“Kalau dari mulai pertama sampai 15 tahun, hasilnya meningkat. Tapi dari tahun ke-17 sampai sekarang, produksinya menurun,”ungkap Acem kepada Bisnisia.id pada Rabu (01/01/2024).
Matanya menyapu batang-batang pohon yang terlihat lapuk, sebagian besar digerogoti anai-anai dan semut putih, hama yang menjadi musuh terbesarnya. Ditambah lagi, penyakit tanah seperti cendawan hijau menjadikan perjuangannya semakin berat.
Menurut Pak Acem, berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi masalah ini, termasuk penggunaan pupuk organik, pupuk MPK, hingga pemberian kacang hijau. Namun, semua metode ini belum berhasil menangani serangan hama yang merugikan.
“Itulah yang paling payah. Belum ada solusi yang efektif sampai sekarang,” keluh Acem dengan nada getir. Harapan untuk solusi yang efektif seolah jauh dari genggaman, membuat Acem bertanya-tanya apakah keberlangsungan kebunnya bisa terjaga.
Di tengah penurunan produksi, harga getah karet justru menunjukkan peningkatan yang menggembirakan.
“Kalau dari harga, sekarang meningkat. Dari awal jadi petani karet setelah tsunami 2004 sampai 2010, harga karet menurun. Tapi sekarang, harga karet bersih mencapai Rp12 ribu per kilogram, dan kalau diolah sendiri bisa mencapai Rp21 ribu per kilogram,” jelas Acem.
Namun, di tengah badai tantangan itu, ada secercah cahaya. Harga getah karet yang sebelumnya terpuruk kini mulai menunjukkan kenaikan. Acem mengenang saat-saat sulit di awal perjalanan sebagai petani, ketika harga karet anjlok pasca tsunami hingga 2010.
“Tapi sekarang, harga karet bersih sudah Rp12 ribu per kilogram. Kalau saya olah sendiri, bisa sampai Rp21 ribu per kilogram,” kata Acem dengan sedikit senyuman, meski bayangan masalah hama tetap menghantui.
Dalam sehari, Acem mampu menghasilkan sekitar 50 kilogram getah karet. Meski demikian, angka itu jauh dari potensi maksimal yang pernah dicapainya. Baginya, inovasi adalah kunci untuk melawan ancaman hama yang terus merongrong kebunnya.
“Kalau dari dinas pertanian, saya sudah tidak ada harapan. Obat-obatan yang mereka sarankan tidak mempan. Tapi kalau ada mahasiswa dari fakultas pertanian yang bisa ciptakan solusi, itu boleh,” ujar Acem dengan sorot mata penuh harap, seakan menitipkan masa depan kebunnya kepada generasi muda.
Sebagai langkah mandiri, Acem bereksperimen membuat kapur barus untuk mengusir hama. Usahanya mungkin belum sepenuhnya berhasil, tetapi semangatnya tidak pernah padam. Baginya, pertanian adalah panggilan jiwa yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja, meski ujian terus datang silih berganti.
Kisah Acem adalah sebuah potret tentang ketabahan petani kecil yang hidup di bawah bayang-bayang perubahan alam dan ekonomi. Ia terus bertahan, melawan tantangan dengan dedikasi dan kerja keras. Di tengah dinamika yang penuh ketidakpastian, ia tetap menjadi simbol inspirasi bagi banyak orang, membuktikan bahwa semangat dan inovasi adalah senjata terkuat untuk mengatasi segala rintangan.
“Semoga suatu hari nanti, ada jalan keluar untuk semua ini,” tutupnya, sembari menatap pohon-pohon karetnya yang berdiri kokoh meski terancam. Di balik keriput wajahnya, tersimpan cerita tentang perjuangan yang tak pernah mengenal kata menyerah.