Bisnisia.id | Banda Aceh –Merespon inflasi yang terjadi setiap bulan, Penjabat Gubernur Aceh, Safrizal, menawarkan solusi dengan mengolah komoditas pangan, seperti cabai merah, ikan tongkol, dan ikan tuna, menjadi produk makanan kaleng.
Langkah ini dilakukan untuk memastikan harga komoditas tetap stabil sepanjang tahun, meskipun produksi melimpah di sentra-sentra tertentu seperti dataran tinggi Gayo.
Saat ini, beberapa komoditas utama seperti cabai merah dan ikan tongkol mengalami deflasi akibat surplus produksi. Meski menguntungkan konsumen, kondisi ini justru membuat petani dan nelayan menghadapi kerugian karena harga jual yang terlalu rendah.
“Deflasi berat tidak bisa dibiarkan karena akan memengaruhi keberlanjutan usaha petani dan nelayan kita. Kita harus segera mengambil tindakan agar harga tetap stabil tanpa merugikan pihak manapun,” kata Safrizal, Senin (2/12/2024).
Sebagai langkah konkret, pemerintah bekerja sama dengan Bank Indonesia untuk mengolah surplus komoditas menjadi produk olahan. Ikan tongkol dan tuna, misalnya, akan diolah menjadi ikan kaleng atau ikan beku, sementara cabai merah dapat diolah menjadi cabai bubuk atau sambal botolan.
“Kita akan memanfaatkan kelebihan hasil panen dan tangkapan untuk membuat produk yang bernilai tambah. Dengan cara ini, harga di pasar bisa lebih stabil, dan petani atau nelayan tetap mendapatkan keuntungan yang layak,” jelas Safrizal.
Ia menambahkan bahwa pengolahan ini juga mendukung keberlanjutan pangan dengan menyediakan stok makanan bergizi yang dapat diakses sepanjang tahun.
Sebagai langkah awal, pemerintah akan meluncurkan program percontohan (pilot project) di wilayah-wilayah dengan produksi komoditas melimpah, seperti dataran tinggi Gayo untuk cabai dan wilayah pesisir Aceh untuk ikan.
“Prosesing ini tidak hanya membantu stabilitas harga, tetapi juga menciptakan lapangan kerja baru di sektor industri pengolahan. Selain itu, ini menjadi peluang untuk memperkuat ekspor produk olahan Aceh,” ujar Safrizal.
Selain pengolahan, Safrizal menekankan pentingnya distribusi yang merata untuk mengatasi disparitas harga antarwilayah. Daerah surplus seperti dataran tinggi Gayo sering kali mengalami harga rendah, sementara daerah lain dengan permintaan tinggi justru menghadapi harga mahal akibat kurangnya pasokan.
“Distribusi yang baik adalah kunci. Jika kita bisa menyambungkan daerah-daerah ini dengan jaringan distribusi yang kuat, maka harga akan lebih terkendali,” katanya.
Langkah ini diharapkan tidak hanya menstabilkan harga, tetapi juga meningkatkan kesejahteraan petani dan nelayan lokal. Dengan adanya produk olahan, mereka memiliki alternatif pasar yang lebih luas dan nilai jual yang lebih tinggi.
“Inovasi ini adalah wujud komitmen pemerintah untuk menjaga stabilitas ekonomi sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” tutup Safrizal.