Aceh menempati peringkat terendah dalam pendapatan per kapita di Pulau Sumatra pada tahun 2023, dengan angka sebesar $2.718. Capaian ini menjadi ironi mengingat Aceh memiliki potensi ekonomi yang besar, mulai dari sumber daya alam hingga sektor pariwisata yang menjanjikan. Namun, berbagai faktor struktural dan kebijakan ekonomi yang kurang optimal menjadi penghambat pertumbuhan yang lebih tinggi.
Salah satu faktor utama rendahnya pendapatan per kapita di Aceh adalah ketergantungan yang tinggi terhadap dana otonomi khusus (Otsus). Sejak diberlakukannya Otsus pasca-konflik, Aceh menerima aliran dana yang signifikan dari pemerintah pusat. Sayangnya, pemanfaatan dana ini masih cenderung bersifat konsumtif dibandingkan produktif. Banyak program pembangunan yang tidak berorientasi pada penciptaan ekonomi berkelanjutan, sehingga dampaknya terhadap pertumbuhan jangka panjang menjadi terbatas.

Aceh memiliki kekayaan sumber daya alam seperti gas alam, pertanian, dan perikanan. Namun, potensi ini belum dimanfaatkan secara maksimal karena kurangnya hilirisasi dan minimnya investasi di sektor industri pengolahan. Akibatnya, nilai tambah ekonomi dari sumber daya alam masih rendah. Selain itu, keterbatasan infrastruktur, seperti jaringan transportasi dan logistik, semakin memperlambat pertumbuhan sektor industri di Aceh.
Tingkat pengangguran yang tinggi juga menjadi faktor yang berkontribusi terhadap rendahnya pendapatan per kapita. Ketidakseimbangan antara jumlah lulusan perguruan tinggi dan ketersediaan lapangan kerja yang sesuai menyebabkan banyak tenaga kerja muda memilih merantau ke luar Aceh demi mencari peluang ekonomi yang lebih baik. Fenomena ini berdampak pada berkurangnya produktivitas tenaga kerja lokal, yang seharusnya menjadi motor penggerak ekonomi daerah.
Selain faktor internal, perekonomian Aceh juga dipengaruhi oleh berbagai tantangan eksternal, seperti fluktuasi harga komoditas global, kebijakan perdagangan nasional, dan ketidakpastian ekonomi global. Ketergantungan Aceh pada sektor primer yang sangat rentan terhadap dinamika pasar global membuat perekonomiannya kurang stabil dan sulit berkembang secara berkelanjutan.

Meski menghadapi berbagai tantangan, Aceh memiliki peluang besar untuk meningkatkan perekonomiannya. Pengembangan sektor pariwisata berbasis budaya dan alam dapat menjadi alternatif untuk meningkatkan pendapatan daerah serta menciptakan lapangan kerja baru. Selain itu, peningkatan iklim investasi melalui penyederhanaan regulasi dan perbaikan infrastruktur dapat menarik lebih banyak investor untuk mengembangkan industri di Aceh.
Diversifikasi ekonomi juga menjadi strategi yang perlu dikedepankan. Pengembangan industri kreatif dan ekonomi digital dapat meningkatkan daya saing Aceh dalam menghadapi perubahan ekonomi global. Dengan sumber daya manusia yang semakin terampil dan infrastruktur yang mendukung, Aceh memiliki peluang untuk keluar dari stagnasi ekonomi yang selama ini membelenggunya.
Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif dan berkelanjutan, diperlukan kebijakan yang lebih terarah dan efektif. Pemerintah daerah, sektor swasta, dan masyarakat harus bekerja sama dalam menciptakan ekosistem ekonomi yang lebih kuat. Tanpa strategi yang jelas dan langkah konkret, Aceh akan terus tertinggal dibandingkan daerah lain di Sumatra.
Meningkatkan pendapatan per kapita Aceh bukan hanya tentang angka statistik, tetapi juga tentang masa depan kesejahteraan masyarakatnya. Dengan kebijakan yang tepat dan optimalisasi potensi yang ada, Aceh dapat bangkit menjadi salah satu pusat ekonomi yang lebih mandiri dan kompetitif di Indonesia.