Bisnisia.id | Banda Aceh – Dahlan Iskan, mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mengungkapkan pentingnya Aceh untuk melangkah lebih cepat dalam membangun proyek-proyek energi terbarukan. Dalam acara Aceh International Forum, ia menyoroti potensi besar pembangkit listrik tenaga air dan geotermal yang dapat berkontribusi pada pemanfaatan energi hijau di Aceh.
1. Potensi Hydropower di Takengon
Dahlan Iskan memulai pembicaraannya dengan menyoroti potensi pembangkit listrik tenaga air (hydropower) di Peusangan, Takengon, yang memiliki kapasitas 100 MW. Menurutnya, proyek ini merupakan salah satu pembangkit listrik tenaga air terbesar di Aceh dan sudah lama dinanti masyarakat setempat. Meskipun memakan waktu lebih dari 10 tahun untuk terwujud, proyek ini akan segera beroperasi.
“Takengon adalah sumber energi hijau terbesar di Aceh, dan sebentar lagi akan beroperasi. Ini adalah kebanggaan bagi kita semua,” ujar Dahlan.
2. Geotermal di Seulawah Agam
Selanjutnya, Dahlan menyentuh proyek geotermal di Seulawah, Aceh Besar, yang memiliki kapasitas lebih besar, yaitu 150 MW. Ia mengungkapkan bahwa proyek ini telah dibahas sejak 15 tahun lalu, saat ia menjabat sebagai Direktur Utama PLN. Namun, karena adanya konflik internal di Aceh dan perbedaan pendapat mengenai kepemilikan, proyek ini sempat tertunda.
“Lembaga Jerman, KfW, telah menyiapkan dana 10 juta dolar, namun belum ada kejelasan soal siapa yang akan mengelola proyek ini,” kata Dahlan.
Dahlan menegaskan bahwa keputusan mengenai kepemilikan proyek geotermal Seulawah harus segera diputuskan. Ia juga menyambut baik keputusan akhir yang menetapkan Aceh akan memegang 25% saham dalam proyek ini, sementara Pertamina akan memegang 75% saham.
“Yang penting adalah proyek ini segera dimulai. Jika Takengon dan Seulawah berjalan, kita akan memiliki total 250 MW dari sumber energi hijau,” ujarnya dengan penuh keyakinan.
3. Percepatan Pembangunan dan Sumber Gas di Lepas Pantai
Selain hydropower dan geotermal, Dahlan Iskan juga mengungkapkan potensi sumber gas besar di lepas pantai Aceh, khususnya di kawasan Andaman.
“Sumber gas ini harus dikelola dengan baik di Aceh, bukan di Singapura atau Penang,” tegas Dahlan.
Ia mengusulkan agar fasilitas logistik dan supply base dibangun di Sabang atau Aceh Utara untuk mendukung pengerjaan proyek gas tersebut. Supply base ini, menurut Dahlan, dapat menjadi pusat penyimpanan dan pengelolaan alat pengeboran serta peralatan pendukung lainnya yang sangat dibutuhkan dalam proyek lepas pantai.
Sumber Daya Manusia
Dalam menghadapi proyek-proyek besar ini, Dahlan juga menekankan pentingnya pengembangan sumber daya manusia (SDM). Aceh, menurutnya, membutuhkan setidaknya 100 pemuda dengan latar belakang teknik yang dapat mempelajari teknologi geotermal dan hydropower.
“Mereka harus magang di perusahaan-perusahaan geotermal di Jawa atau Lampung, agar ketika proyek ini berjalan, mereka sudah siap,” tambahnya.
Hal ini, menurut Dahlan, akan memastikan bahwa Aceh tidak hanya menjadi konsumen energi, tetapi juga menjadi pengelola proyek-proyek tersebut.
Fokus pada Pembangunan Ekonomi
Melalui seluruh pembicaraannya, Dahlan menegaskan bahwa Aceh perlu melangkah ke “move on jilid dua” setelah proses rekonstruksi pasca-tsunami. “Move on pertama” adalah perdamaian dan rekonstruksi fisik, sementara “move on jilid dua” harus berfokus pada percepatan pembangunan ekonomi.
“Jika move on pertama adalah rekonsiliasi, move on jilid dua adalah bagaimana kita mempercepat pembangunan, termasuk proyek-proyek energi,” ujarnya.
Dahlan berharap proyek-proyek besar seperti hydropower, geotermal, dan gas lepas pantai dapat menjadi pendorong percepatan pembangunan dan kesejahteraan Aceh di masa depan. Ia juga optimistis jika Aceh melangkah dengan cepat, sumber daya alam yang melimpah akan memberikan keuntungan besar bagi generasi mendatang.