Bisnisia.id | Banda Aceh – Ketua Badan Baitul Mal Aceh, Mohammad Haikal, menuturkan bahwa zakat bukan sekadar kewajiban agama, melainkan instrumen untuk membangun kesejahteraan masyarakat dan mendistribusikan kekayaan secara merata.
“Zakat memiliki peran penting dalam mengurangi kemiskinan ekstrem di Aceh, yang saat ini masih berada pada angka 14 persen atau sekitar 800 ribu orang,” ujar Haikal kepada Bisnisia.id, Selasa (3/12/2024).
Berdasarkan laporan keuangan Aceh pada tahun 2023, data realisasi penyaluran zakat dari Badan Baitul Mal Aceh (BMA) mencatat total anggaran sebesar Rp112,13 miliar, dengan realisasi penyaluran mencapai Rp84,33 miliar atau 75,21 persen.
Kelompok fakir menjadi prioritas utama dalam distribusi zakat, dengan realisasi Rp5,08 miliar dari anggaran Rp5,21 miliar, atau sekitar 97,44 persen. Kelompok miskin juga mendapatkan perhatian besar, di mana dari total anggaran Rp63,95 miliar, terealisasi Rp46,58 miliar atau 72,83 persen.
Sementara itu, penyaluran zakat kepada kelompok lain seperti amil, mualaf, gharimin, fisabilillah, dan ibnu sabil mencapai tingkat realisasi antara 59,78 persen hingga 82,38 persen.
Melalui zakat, kata Haikal, masyarakat miskin dapat meningkatkan daya beli mereka dan memenuhi kebutuhan dasar. Salah satu program unggulan yang dijalankan adalah bantuan bagi fakir uzur, yaitu masyarakat yang berusia di atas 70 tahun dan tidak memiliki penghasilan tetap atau keluarga yang dapat menopang mereka.
“Kami memberikan bantuan bulanan kepada sekitar 400 fakir uzur. Program ini memastikan mereka tetap bisa melanjutkan hidup dengan layak,” jelasnya.

Baitul Mal Aceh juga menyalurkan zakat untuk pasien penyakit berat seperti thalassemia, gagal ginjal, dan kondisi kritis lainnya. “Banyak dari mereka datang dari pelosok, kehilangan penghasilan harian saat menjalani pengobatan. Zakat membantu mereka menutupi biaya transportasi dan kebutuhan sehari-hari selama proses pengobatan,” tambah Haikal.
Kendati demikian, Haikal mengakui bahwa tantangan pengelolaan zakat di Aceh masih cukup besar, terutama dalam hal literasi dan digitalisasi.
“Literasi tentang zakat masih rendah. Banyak masyarakat yang belum memahami potensi zakat sebagai solusi kemiskinan. Selain itu, digitalisasi sangat penting agar pengelolaan zakat lebih transparan, efisien, dan terintegrasi hingga ke tingkat desa,” katanya.
Haikal juga menyoroti pentingnya kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan lembaga lainnya. “Kolaborasi menjadi kunci. Kita perlu menyatukan visi dan sumber daya untuk mengoptimalkan dampak zakat,” ungkapnya.
Selain program rutin, Baitul Mal Aceh juga aktif memberikan bantuan tanggap darurat, seperti kepada korban kebakaran. “Walaupun nominalnya kecil, sekitar Rp3 juta, bantuan ini sangat berarti bagi mereka yang kehilangan segalanya,” tuturnya.
Melalui pengelolaan zakat yang tepat sasaran, berdampak, dan berkelanjutan, Baitul Mal Aceh berharap dapat terus berkontribusi dalam menurunkan angka kemiskinan di Aceh.
“Zakat bukan hanya tentang harta, tetapi juga tentang menyatukan hati antara yang mampu dan yang membutuhkan. Dengan kolaborasi dan pengelolaan yang baik, zakat dapat menjadi solusi nyata untuk kesejahteraan masyarakat,” jelas Haikal.