20 Tahun Tsunami Aceh, Kisah Masyarakat yang Bertahan di Zona Merah

Tsunami 26 Desember 2004 menghancurkan desa-desa di pesisir Aceh. Namun, kini, setelah 20 tahun berlalu, zona merah rawan bencana kian ramai dihuni. Mereka takut pada bencana, tetapi tidak mau menyerah pada trauma.

Saleha, seorang ibu yang tinggal di Desa Alue Naga, Kecamatan Syiah Kuala, Kota Banda Aceh, mengisahkan perjuangannya melewati peristiwa kelam tsunami Aceh 2004. Tragedi yang meluluhlantakkan sebagian besar wilayah Aceh itu masih membekas dalam ingatannya, meski sudah 20 tahun berlalu.

“Saat itu hari Minggu pagi. Anak-anak saya masih kecil. Waktu itu saya sedang memberi mereka makan ketika tiba-tiba terjadi gempa. Rumah-rumah runtuh, dan orang-orang berteriak ‘banjir, banjir!’” kenang Saleha saat ditemui di rumahnya, Rabu (25/12/2024) pagi.

Saleha tak pernah menyangka bahwa gempa tersebut akan diikuti oleh gelombang besar yang menyapu segalanya.

ulee lheu
Pemandangan dari udara kawasan Ulee Lheu, Kota Banda Aceh 20 tahun setelah tsunami. Permukiman semakin padat padahal ini adalah zona rawan tsunami. Foto Getty Images/Roni Bintang

Ia mengisahkan bagaimana ia berusaha menyelamatkan keluarganya di tengah kekacauan. Alue Naga, sebuah desa pesisir di Banda Aceh, hanya berjarak ratusan meter dari laut.

“Saya gendong anak yang paling kecil, dia masih bayi waktu itu,” ujarnya dengan nada penuh haru.

Ia dan keluarganya berlari bersama warga lainnya, mencoba mencari tempat yang aman. Saat itu, Saleha bersama keluarga berhasil melarikan diri ke daerah Ulee Kareng, sekitar 8 kilometer dari desanya.

Baca juga:  Refleksi Dua Dekade Tsunami, Pemerintah Aceh Ingatkan Pelajaran Penting dan Momentum Transformasi

“Di belakang rumah kami banyak pengungsi. Masjid depan juga jadi tempat pengungsian,” ujarnya.

Kini, di lingkungan yang ia sebut sebagai zona merah rawan gempa dan tsunami, Saleha tetap hidup dengan kewaspadaan tinggi.

“Kami sudah siap siaga. Surat-surat penting selalu dalam tas, dan kalau ada gempa, kami langsung lari ke tempat aman. Honda (sepeda motor) juga setiap malam sudah kami parkirkan ke arah depan. Jadi, sewaktu-waktu ada bencana, kami tidak sibuk memutar balikkan posisi lagi,” jelasnya.

Saleha juga mengajarkan anak-anaknya untuk tetap tenang ketika sewaktu-waktu ada bencana.

“Kalau gempanya siang, anak-anak yang masih sekolah tidak perlu pulang ke sini (Alue Naga), langsung ke tempat evakuasi. Jangan ke rumah lagi,” katanya tegas.

Saleha telah berdamai dengan trauma. Dia menyadari bencana bisa datang kapan saja, tetapi memperkuat kesiapan mitigasi membuatnya lebih tenang.

Dalam kesehariannya, Saleha bekerja di usaha laundry, sementara suaminya mengelola bengkel di Lambaro. Meski hidup sederhana, mereka mampu menyekolahkan lima anak hingga salah satunya menjadi guru.

Baca juga:  Indonesia Ingin Naikkan Produksi CPO, 360.000 Hektar Sawit Rakyat Diremajakan

“Yang paling kecil sekarang kelas tiga SD, sedangkan yang paling besar sudah jadi guru,” ujarnya dengan bangga.

Madeleine Moss Minister Counsellor for Governance and Human Development di Kedutaan Besar Australia Jakarta
Madeleine Moss, Minister Counsellor for Governance and Human Development di Kedutaan Besar Australia dalam sesi Ignite Stage pada acara Simposium Tsunami Global UNESCO-IOC ke-2: “Dua Dekade Setelah Tsunami Samudra Hindia 2004,” yang diselenggarakan pada Minggu (10/11/2024) di Balai Meuseuraya Aceh, Banda Aceh.

Perjuangan Saleha tak hanya soal membangun kembali kehidupan pascatsunami, tetapi juga membesarkan anak-anaknya dengan penuh kasih sayang di tengah segala keterbatasan.

“Waktu tsunami dulu, anak yang sekarang jadi guru masih kecil, saya gendong-gendong,” katanya sambil tersenyum tipis, mengenang masa sulit yang telah mereka lewati bersama.

Bagi Saleha, pengalaman menghadapi bencana besar mengajarkannya pentingnya kesiagaan. Ia berharap pemerintah memperhatikan kawasan rawan bencana seperti tempat tinggalnya dengan membangun fasilitas evakuasi.

“Di sini tidak ada gedung evakuasi tsunami, padahal ini zona merah,” ujarnya.

Meskipun demikian, ia tetap berusaha menjaga keluarganya selalu siap menghadapi kemungkinan bencana.

“Kami sudah siaga-siaga. Kalau ada apa-apa, langsung lari ke tempat aman,” katanya.

Sementara itu, Saiful Maulana (20), seorang pendatang yang tinggal di Lambaro Skep, mengatakan hal yang berbeda terkait upaya penyelamatan diri jika sewaktu-waktu terjadi bencana.

“Kalau di keluarga saya sampai sekarang enggak ada prosedur yang gimana-gimana (penyelamatan). Paling ya kalau terjadi bencana orang lari ya kita ikut jugalah,” ungkapnya.

Baca juga:  Sektor Sawit Serap 17 Juta Tenaga Kerja di Indonesia

Ia menyatakan alasannya memilih tinggal di Lambaro Skep karena letaknya strategis dan dekat dengan pusat kota.

Lambaro Skep hanya berjarak 1 kilometer dari bibir pantai. Kala bencana 20 tahun silam, Lambaro Skep tidak luput dari amukan gelombang tsunami.

Meski demikian, kini Lambaro Skep kembali ramai. Perumahan tumbuh, dan warga pendatang mendiami desa itu.

“Tahu sih ini zona merah tsunami, tapi dulu keluarga kami memilih tinggal di sini karena dekat dengan pusat kota, terus ke pelabuhan ikan juga dekat,” jelasnya.

IMG 3858
Masjid Rahmatullah Lampuuk pada Senin (23/12/2024). Masjid yang Tetap Kokoh Saat Dihantam Tsunami. Foto: Akramul muslim/Bisnisia.id

Saiful merupakan anak ketiga dari empat bersaudara, dan ayahnya bekerja sebagai tukang becak, sementara ibunya seorang ibu rumah tangga.

“Kalau di rumah tidak ada mobil, cuma ada honda (motor) sama becak aja sih,” ungkapnya.

Kisah Saleha dan Saiful adalah potret ketabahan sekaligus kepasrahan masyarakat Aceh pada bencana. Tsunami Aceh 2004 mungkin telah meninggalkan luka mendalam, tetapi semangat untuk bertahan dan melanjutkan hidup tetap menjadi kekuatan mereka yang selamat.

Bagi Saleha, hidup adalah tentang terus melangkah ke depan, meskipun kenangan masa lalu tak pernah benar-benar hilang.

Editor:
Zulkarnaini

Bagikan berita:

Popular

Berita lainnya

Perkuat Pangan, Pemerintah Pusat Siap Biayai Irigasi di Aceh

Bisnisia.id | Jakarta – Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan...

Santri Aceh Diharapkan Berperan Aktif di Era Modern

Bisnisia.ID | Banda Aceh – Penjabat Harian (Plh) Sekretaris...

Bertemu Wamen, Pj Gubernur Safrizal Sebut Pilkada Berjalan Baik dan Lancar

Bisnisia.id | Jakarta - Penjabat Gubernur Aceh, Dr. H....

Mengalun Zikir di Ulee Lheue, Dua Dekade Luka yang Membekas

Bisnisia.id | Jantho – Tepat 20 tahun yang lalu,...

Ketahanan Pangan, Solusi Mengendalikan Laju Inflasi di Aceh

Banda Aceh, Bisniskita.id - Ketahanan pangan menjadi salah satu...

Dukung Asta Protas Kemenag Berdampak, Aceh Targetkan 100 Ribu Pohon di Lahan Wakaf

Bisnisia.id | Banda Aceh - Kepala Kantor Wilayah Kementerian...

Makmeugang di Yordania, Kehangatan yang Tak Selalu Bisa Dinikmati

Makmeugang, atau yang juga dikenal sebagai meugang, bukan sekadar...

Foto: Melihat Produksi Pisau Dapur di Aceh Besar

Bisniskita.id | Jantho – Pengrajin menyelesaikan pembuatan pisau dapur...

Hingga Agustus 2023, Bank Indonesia Catat 5 Juta Transaksi di Aceh

Bisniskita.id | Banda Aceh - Bank Indonesia Provinsi Aceh...

MyTelkomsel, Solusi Dukung Aktivitas Digital Pelanggan Telkomsel dan IndiHome

Bisniskita.id | Banda Aceh - Telkomsel terus membuka semua...

KIP Aceh Tetapkan Kepala Daerah Terpilih, Lima Kabupaten/Kota Masih Tertahan di MK

Bisnisia.id | Banda Aceh - Komisi Independen Pemilihan (KIP)...

IWAPI Aceh Ingatkan Mualem Beri Perhatian Besar untuk UMKM

Bisnisia.id | Banda Aceh - Ketua Ikatan Wanita Pengusaha...

Hingga Juli 2023, Sektor Jasa Keuangan dan Ekonomi di Aceh Tumbuh Positif

Bisniskita.id | Banda Aceh - Otoritas Jasa Keuangan (OJK)...

Aceh Tawarkan Peluang Investasi Strategis kepada Investor Tiongkok di Forum Jakarta

Bisnisia.id | JAKARTA – Pemerintah Aceh terus mengupayakan peningkatan...