Bisnisia.id | Banda Aceh – Aceh ditetapkan sebagai pusat hilirisasi gas bumi dan getah pinus dalam peta nasional pengembangan industri hilir di Indonesia.
Kepala Bidang Minyak dan Gas Bumi Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Aceh, Dian Budi Dharma, menyampaikan bahwa potensi gas bumi di wilayah Andaman mencapai 24 triliun cubic feet (TCF), menjadikan Aceh memiliki peluang besar untuk mengembangkan industri berbasis gas bumi.
“Hilirisasi gas bumi dan getah pinus merupakan dua sektor yang ditetapkan secara nasional untuk Aceh. Jadi, tidak ada fokus hilirisasi kelapa sawit atau minyak bumi untuk Aceh,” ujar Dian dalam diskusi bertajuk ‘Potensi Migas di Era Energi Terbarukan: Bagaimana Aceh Beradaptasi?’ di Banda Aceh, Selasa (10/12/2024).
Dian menambahkan bahwa dalam bauran energi Aceh pada 2050, penggunaan gas bumi untuk energi akan mencapai 4,7 persen, sementara bahan bakar minyak masih mendominasi sebesar 38,7 persen. Adapun potensi gas bumi juga diarahkan untuk industri dengan nilai tambah yang jauh lebih besar dibandingkan Dana Bagi Hasil (DBH).
“Hilirisasi ini memberikan peluang besar untuk industri seperti pabrik urea dengan nilai tambah 4,3 kali, pabrik metanol 2,8 kali, dan pabrik amonium nitrat yang mencapai 6,13 kali nilai tambah. Dengan ini, kita berharap tidak lagi bergantung pada DBH,” ujar Dian.
Aceh juga diharapkan menyumbangkan porsi signifikan terhadap produksi nasional. Untuk amonia, kontribusi Aceh ditargetkan sebesar 35 persen, urea 44 persen, dan metanol 33 persen. Dian optimistis, hilirisasi ini mampu menyerap tenaga kerja lokal hingga 15 ribu orang, membantu menekan angka pengangguran di Aceh.
“Dengan adanya hilirisasi gas bumi, sekitar 30 persen tenaga kerja yang terserap di sektor ini akan berasal dari Aceh. Ini menjadi peluang besar bagi generasi muda kita,” tambahnya.
Revitalisasi KEK Arun
Lebih lanjut, Dian menyoroti keberadaan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Arun di Lhokseumawe yang sempat idle (menganggur). Ia berharap kawasan ini dapat dihidupkan kembali untuk mendukung pengembangan industri hilir gas bumi.
“KEK Arun ini dulu punya enam train (fasilitas pengolahan gas), tetapi sekarang hanya satu atau dua yang beroperasi. Perlu ada upaya revitalisasi atau pembangunan baru untuk memaksimalkan potensi ini,” ujarnya.
Dian juga mengingatkan pentingnya mendukung implementasi penetapan Aceh sebagai pusat hilirisasi gas bumi agar hasil gas bumi Aceh tidak lagi dialirkan ke luar daerah, seperti Jawa.
“Kita butuh dukungan dari berbagai pihak, termasuk media, agar potensi ini benar-benar dapat diimplementasikan dan membawa kemakmuran bagi Aceh,” tutupnya.
Dengan penetapan Aceh sebagai pusat hilirisasi gas bumi nasional, peluang ekonomi bagi masyarakat Aceh kian terbuka lebar.
Langkah ini diharapkan tidak hanya meningkatkan perekonomian daerah, tetapi juga mendorong Aceh menjadi pemain utama dalam industri energi dan hilirisasi nasional.