Bisnisia.id | Jakarta — Pemerintah Indonesia terus memperkuat kebijakan mandatori biodiesel dengan inisiatif baru untuk meningkatkan keberlanjutan energi berbasis minyak kelapa sawit (CPO).
Dalam upaya mencapai kemandirian energi dan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, pemerintah saat ini sedang mempersiapkan penerapan biodiesel B40 atau bahkan lebih tinggi.
Direktur Bioenergi Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Edi Wibowo, menegaskan bahwa implementasi ini juga memperhatikan keseimbangan pasokan minyak kelapa sawit domestik, insentif yang memadai, dan kesiapan infrastruktur.
“Dengan pelaksanaan program ini, diharapkan produksi biodiesel dapat memenuhi kebutuhan energi nasional sekaligus menurunkan ketergantungan pada bahan bakar fosil,” jelas Edi dalam paparannya pada konferensi minyak sawit yang diadakan Senin (11/11/2024).
Menurutnya, kebijakan ini turut mencakup peningkatan kapasitas industri biodiesel, khususnya di wilayah tengah dan timur Indonesia untuk memperkuat sektor energi terbarukan di seluruh nusantara.
Selain biodiesel, Indonesia juga fokus pada produksi hydrotreated vegetable oil (HVO) atau diesel hijau untuk kebutuhan non-subsidi. PT Kilang Pertamina Internasional menjadi pelopor dalam pengembangan HVO melalui dua fase pembangunan.
Fase pertama telah selesai pada Januari 2022 dengan kapasitas produksi sebesar 143.000 kiloliter per tahun menggunakan refined, bleached, deodorized palm oil (RBDPO) sebagai bahan baku.
Saat ini, fase kedua dalam tahap pembangunan di Kilang RU IV Cilacap dengan kapasitas produksi 348.000 kiloliter per tahun. Proyek ini memanfaatkan bahan baku beragam, termasuk CPO, minyak bekas (UCO), dan Palm Oil Mill Effluent (POME), melalui skema “grass root” yang memungkinkan penggunaan bahan baku ramah lingkungan. Pembangunan ini ditargetkan selesai pada akhir 2028.
“Produksi HVO telah mendukung berbagai kegiatan besar, seperti sebagai bahan bakar Formula E di Jakarta dan KTT G20 di Indonesia, serta uji coba implementasi B40 di sektor pertambangan,” ujar Edi.
Meskipun ambisius, pengembangan HVO di Indonesia menghadapi berbagai tantangan, mulai dari aspek regulasi, investasi, hingga dukungan infrastruktur yang memadai.
Edi mengakui bahwa industri energi hijau ini masih membutuhkan perhatian serius, terutama dalam hal kebijakan yang lebih fleksibel agar mampu menarik minat investor untuk turut serta dalam proyek ini.
Selain itu, pemerintah juga mendorong program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) sebagai langkah diversifikasi pasokan bahan baku, dengan fokus pada pemanfaatan lahan kritis atau bekas tambang sebagai hutan energi.
Inisiatif ini bertujuan tidak hanya meningkatkan produktivitas kelapa sawit nasional, tetapi juga memaksimalkan penggunaan lahan yang saat ini kurang produktif.
Dalam implementasi mandatori biodiesel, pemerintah menetapkan prinsip keberlanjutan sebagai fondasi utama melalui indikator berstandar nasional yang dikenal sebagai Indonesian Bioenergy Sustainable Indicators (IBSI). Standar ini mencakup aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi yang menjadi tolok ukur dalam proses produksi biodiesel di Indonesia.
Dengan pendekatan ini, pemerintah berharap pengembangan biodiesel tidak hanya menguntungkan secara ekonomis, tetapi juga berkelanjutan bagi lingkungan dan masyarakat sekitar.
Bersamaan dengan perkembangan ini, kerjasama lintas kementerian terus dijalin untuk mempercepat realisasi transisi energi di Indonesia.
Baru-baru ini, Kementerian ESDM dan AFD (Agence Française de Développement) menandatangani kerja sama dalam mendukung transisi energi yang berkelanjutan di Indonesia.
Pemerintah optimistis bahwa kebijakan mandatori biodiesel, terutama implementasi B40 dan produksi HVO, akan menjadi pilar utama bagi ketahanan energi nasional.
Menurut Edi, langkah-langkah ini merupakan upaya serius untuk menjadikan Indonesia sebagai salah satu pemimpin dalam produksi biodiesel dan energi hijau di Asia Tenggara.
Sebagai upaya lanjutan, pemerintah terus berupaya menarik minat masyarakat dan sektor swasta untuk berkontribusi dalam pencapaian target energi terbarukan ini.
“Langkah ini bukan hanya soal ekonomi, tapi juga komitmen kita pada generasi mendatang untuk mendapatkan energi yang lebih bersih dan berkelanjutan,” pungkas Edi.