Bisnisia.id | Banda Aceh – Kasus korupsi pengadaan benih dan pakan ikan di Badan Reintegrasi Aceh (BRA) segera memasuki tahap persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Banda Aceh. Penyelewengan dana yang seharusnya diperuntukkan untuk pemberdayaan korban konflik ini mengejutkan masyarakat Aceh dan memicu reaksi keras.
Kepala Seksi Penerangan Hukum dan Humas Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh, Ali Rasab Lubis, Selasa (5/11/2024), mengungkapkan bahwa berkas enam tersangka telah dilimpahkan ke pengadilan Tipikor. Mereka adalah Suhendri, Ketua BRA; Zulfikar, Koordinator BRA; Muhammad, Kuasa Pengguna Anggaran (KPA); Mahdi, Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK); Zamzami, pemilik perusahaan penyedia; dan Hamdani, koordinator lapangan.
Dari hasil audit Laporan Perhitungan Kerugian Keuangan Negara (PKKN) Nomor: 700/02/PKKN/IA-IRSUS/2024 tertanggal 1 Juli 2024, diketahui bahwa perbuatan para tersangka mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp15,4 miliar. Skema korupsi ini ditemukan dalam program pengadaan tahun 2023 yang ditujukan bagi sembilan kelompok penerima di Aceh Timur, namun bantuan tersebut tidak terealisasi sesuai rencana.
Para terdakwa kini harus mempertanggungjawabkan perbuatannya, menghadapi jeratan Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 ayat (1) huruf a dan b, ayat (2) dan ayat (3) UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
Kasus ini diharapkan membawa angin segar bagi pemberantasan korupsi di Aceh, sekaligus menjadi pengingat tegas bahwa dana publik harus dikelola dengan tanggung jawab.
Mengutip siaran pers yang disiarkan melalui laman resmi Kejati Aceh disebutkan Dalam Dokumen Pelaksanaan Perubahan Anggaran (DPA-P) TA 2023 untuk Badan Reintegrasi Aceh (BRA), terdapat alokasi anggaran sebesar Rp15,7 miliar untuk belanja hibah barang kepada lembaga nirlaba terkait program bantuan masyarakat korban konflik. Program tersebut mencakup pengadaan bibit ikan kakap dan pakan rucah untuk sembilan kelompok penerima manfaat di Aceh Timur.
Namun, dari hasil penyidikan ditemukan bahwa kelompok penerima tidak pernah menerima bantuan tersebut. Tidak ada penandatanganan berita acara serah terima, namun pembayaran 100% telah dilakukan oleh Sekretariat BRA, sehingga bantuan dianggap fiktif. Berdasarkan audit, kerugian negara mencapai Rp15,4 miliar akibat anggaran yang telah dicairkan ke rekening perusahaan terkait, meskipun bantuan tak pernah diterima oleh penerima manfaat.