Bisnisia.id | Banda Aceh – Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh terus menegaskan komitmennya dalam menyediakan data makro yang dapat digunakan untuk perencanaan pembangunan, termasuk dalam upaya pengentasan kemiskinan.
Kepala BPS Aceh, Ahmadriswan Nasution mengatakan BPS memiliki peran penting dalam menghadirkan indikator makro yang menjadi dasar bagi berbagai kebijakan pemerintah. Ia menjelaskan bahwa BPS tidak memiliki kewenangan untuk mengungkap data individu karena regulasi yang mengatur ketat publikasi informasi tersebut.
“Kami bukan tidak bisa atau tidak mau menjawab terkait data kemiskinan secara spesifik, tetapi regulasi tidak memungkinkan BPS untuk mempublikasikan data individu,” ujarnya, Kamis (20/2/2025).
Ahmadriswan juga menyoroti pentingnya pemahaman terhadap konsep data makro yang disajikan oleh BPS. Ia mencontohkan bagaimana data kemiskinan sebesar 12,64 persen sering kali menjadi perdebatan, padahal angka tersebut hanya merupakan indikator yang mencerminkan tren umum.
“Statistik itu tidak ada di alam nyata, melainkan hanya sebagai indikasi. Misalnya, jika kita menghitung rata-rata usia, hasilnya bisa 47,3 tahun, padahal tidak ada orang dengan usia persis seperti itu. Begitu pula dengan data kemiskinan yang kami sajikan,” jelasnya.

Dalam konteks pengentasan kemiskinan, Ahmadriswan menyoroti bahwa pemahaman masyarakat terhadap data statistik sangat berpengaruh terhadap efektivitas kebijakan. Ia mengungkapkan bahwa sering kali terdapat mispersepsi tentang kondisi ekonomi suatu daerah berdasarkan infrastruktur yang ada.
“Ada yang mengatakan Aceh tidak mungkin miskin karena jalannya bagus-bagus. Padahal, kemiskinan itu diukur berdasarkan konsumsi masyarakat, bukan dari infrastruktur semata,” ujarnya.
BPS juga menyoroti pentingnya narasi positif dalam membangun pemahaman yang lebih baik terkait data kemiskinan.
“Kemarin, angka penurunan kemiskinan hampir 2 persen, tepatnya 1,59 persen, yang merupakan salah satu penurunan tercepat di Indonesia. Namun, perlu dipahami bahwa penurunan terbesar terjadi di daerah dengan tingkat kemiskinan yang lebih tinggi,” jelasnya.
Sebagai bagian dari strategi pengentasan kemiskinan, Ahmadriswan menjelaskan bahwa kebijakan jangka pendek berfokus pada pengurangan beban pengeluaran masyarakat miskin, misalnya melalui bantuan pendidikan atau perumahan. Sementara itu, kebijakan jangka menengah diarahkan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat.
“Dalam jangka pendek, pemerintah berupaya mengurangi beban pengeluaran dengan berbagai bantuan. Namun, untuk solusi jangka menengah, kita harus meningkatkan pendapatan masyarakat agar mereka bisa keluar dari garis kemiskinan secara berkelanjutan,” tegasnya.
Ahmadriswan juga mengajak berbagai pihak untuk lebih memahami statistik dan perannya dalam pembangunan.
“Kami berharap berbagai sektor dapat berkolaborasi dalam memanfaatkan data dengan lebih baik, sehingga kebijakan yang diambil benar-benar berdampak pada masyarakat,” pungkasnya.

Sementara itu, Ketua Tim Statistik Sosial BPS Aceh, Abd Hakim, menjelaskan bahwa pengukuran kemiskinan tidak sekadar melihat jumlah penduduk yang miskin, tetapi juga berdasarkan pendekatan kebutuhan dasar yang terukur secara statistik.
“Secara konsep, kemiskinan itu relatif. Ada garis kemiskinan yang menentukan siapa yang tergolong miskin dan siapa yang tidak,” ujarnya.
BPS menggunakan konsumsi energi sebesar 2.100 kilokalori per kapita per hari sebagai standar kebutuhan makanan.
“Kita menghitung garis kemiskinan berdasarkan pengeluaran minimum untuk memenuhi standar gizi tersebut. Selain itu, pengeluaran untuk kebutuhan non-makanan seperti perumahan, pendidikan, dan kesehatan juga turut dihitung,” tambahnya.
Dalam paparan yang disampaikan, BPS juga menyoroti pola pengeluaran masyarakat yang masih cukup tinggi untuk kebutuhan sekunder seperti rokok dan minuman ringan.
“Ada fenomena di mana rumah tangga miskin mengalokasikan dana yang cukup besar untuk konsumsi rokok. Ini yang perlu kita cermati dalam memahami pola kemiskinan secara lebih dalam,” kata Abd Hakim.