BISNISIA.ID | Banda Aceh – Di era digital ini, tanpa disadari manusia hidup di tengah lautan data yang dapat diolah menjadi informasi penting untuk masyarakat, kerja jurnalistik, hingga pengambilan keputusan di berbagai bidang.
Chief Executive Officer Digdata.id, Hotli Simanjuntak, menjelaskan bahwa keberadaan data digital saat ini, terutama yang berkaitan dengan isu lingkungan hidup, sangat luas dan dapat diakses oleh publik dari berbagai sumber seperti pemerintah, swasta, lembaga masyarakat, hingga media sosial.
Namun, tantangan terbesar adalah banyaknya data yang masih berbentuk dokumen PDF atau API, yang memerlukan kemampuan teknis khusus untuk mengolahnya.
“Banyak jurnalis, terutama di Aceh, kesulitan mengolah data yang ada karena mereka harus bekerja cepat dan akurat. Data yang ada sering kali tersebar di berbagai tempat dan dalam format yang sulit diproses secara langsung. Padahal, di balik data ini tersimpan banyak cerita yang belum terungkap,” ujar Hotli dalam Diseminasi Dashboard Data Hutan Aceh dan Kawasan Ekosistem Leuser yang diselenggarakan oleh Yayasan Hutan, Alam dan Lingkungan Aceh (HaKA) bersam media digdata.id di Escape Green Bitro, Banda Aceh, Jumat, 4 Oktober 2024.
Hotli menambahkan, di balik angka-angka yang terlihat kering, sebenarnya ada informasi yang dapat digali lebih dalam jika diolah dengan baik.
“Jika jurnalis atau siapa pun dapat menambang dan menganalisis data, mereka akan menemukan cerita menarik dan bermanfaat, yang bisa membantu dalam pengambilan keputusan, khususnya oleh pemerintah,” ujarnya.
Teknologi seperti kecerdasan buatan (AI) kini semakin memudahkan proses pengolahan data, termasuk bagi jurnalis yang ingin menghasilkan karya jurnalistik berbasis data.
Untuk menjawab tantangan ini, Digdata.id, sebuah media daring berbasis data di Aceh, mengembangkan dashboard data yang menampilkan informasi terkait hutan Aceh dan Kawasan Ekosistem Leuser. Dashboard ini memudahkan publik, terutama jurnalis, dalam menambang data, menganalisis, dan memvisualisasikannya.
Dashboard ini dirancang untuk menyederhanakan akses data bagi publik. Dengan menggunakan teknologi data mining, dashboard ini mampu menyajikan ringkasan informasi penting tentang kerusakan hutan di Aceh dan Kawasan Ekosistem Leuser, yang sebelumnya sulit didapatkan dari pemerintah.
“Jika jurnalis dan publik ingin mendapatkan data tentang kerusakan hutan, mereka sering kali harus melewati proses administrasi dan birokrasi yang panjang. Hal ini tidak memungkinkan bagi jurnalis yang harus bekerja cepat,” jelas Hotli.
Selain memudahkan akses data, dashboard ini juga membantu jurnalis dan peneliti untuk mendapatkan informasi yang akurat dan terperinci.
Data yang tersedia di dashboard ini dapat diolah untuk menghasilkan laporan yang lebih substansial dan berwawasan. Hal ini sejalan dengan prinsip jurnalistik yang mengutamakan fakta.
“Data adalah bagian dari fakta, dan fakta itu suci,” ujar Hotli, mengutip Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam buku 10 Elemen Jurnalisme.
Dalam diseminasi yang digelar di Escape Green Distro Banda Aceh, tim Digdata.id juga memaparkan rencana tindak lanjut untuk memperluas cakupan data di dashboard.
“Ke depan, kami akan menambahkan data terkait kebencanaan, kebakaran hutan dan lahan (karhutla), pertambangan ilegal, dan isu-isu lingkungan lainnya. Kami ingin dashboard ini menjadi alat yang dapat diakses oleh semua kalangan, baik untuk jurnalis, akademisi, maupun pemangku kepentingan lainnya,” tambahnya.
Hotli juga menegaskan bahwa advokasi lingkungan berbasis data semakin penting di era sekarang.
Dengan data, keputusan yang diambil tidak lagi bersifat subjektif melainkan objektif, karena didasarkan pada informasi yang nyata di lapangan.
Data yang telah diolah dapat membantu jurnalis menemukan cerita yang tidak hanya menarik, tetapi juga berdaya guna bagi masyarakat luas.
“Misalnya, dengan data kerusakan hutan yang kami sajikan, jurnalis dapat mengeksplorasi dampak kebijakan pemerintah terhadap lingkungan, atau akademisi bisa melakukan penelitian untuk menemukan solusi yang lebih baik dalam menjaga kelestarian hutan Aceh,” terang Hotli.
Ia juga berharap bahwa kehadiran dashboard ini dapat mendorong pemerintah untuk semakin terbuka dalam memberikan data kepada publik.
“Kami ingin pemerintah Aceh dan pemangku kepentingan lainnya bisa menyediakan data terbuka berbasis web yang mudah diakses, sehingga transparansi dan akuntabilitas semakin meningkat,” ujarnya.
Kegiatan diseminasi dashboard ini dikemas dalam bentuk diskusi santai yang dihadiri oleh berbagai pihak, mulai dari jurnalis, akademisi, hingga pegiat lingkungan.
Dalam diskusi tersebut, tim Digdata.id memberikan demonstrasi singkat mengenai cara kerja dashboard dan jenis data yang tersedia. Peserta diskusi juga diajak memberikan masukan untuk pengembangan dashboard agar lebih mudah diakses dan dimanfaatkan oleh publik.
“Kami menerima masukan dari peserta terkait kendala-kendala teknis yang mereka hadapi dalam mengakses data. Semua masukan ini akan kami gunakan untuk menyempurnakan dashboard di masa mendatang,” pungkasnya.