“Negara-negara yang berkelimpahan sumber daya alam seperti minyak dan gas, kinerja pembangunan ekonomi dan tata kelola pemerintahannya (good governance) kerap lebih buruk dibandingkan negara-negara dengan sumber daya alam yang lebih kecil.”
—Macartan Humphreys, Lolos dari Kutukan Sumber Daya
Begitulah kalimat pembuka yang disodorkan Humphreys dkk. dalam buku Escaping the Resource Curse ( Berkelit dari Kutukan Sumber Daya Alam ), yang diterbitkan oleh Columbia University Press pada tahun 2007. Paradoks tersebut disajikan melalui netralitas bahasa yang menggiring segala spektrum paradigma di dalamnya. Seperti halnya metode qiyas dalam hukum syariah, kutipan ini juga dapat diterapkan dalam meninjau berbagai aspek industri ekstraktif, seperti komoditas mineral dan batu bara.
Kita tentu saja mendukung segala bentuk upaya pemanfaatan sumber daya alam sebagai anugerah dari Sang Kuasa. Keberlimpahan tersebut sejatinya adalah karunia yang diperuntukkan bagi kemaslahatan umat manusia.
Berkaca pada literatur terdahulu, kekayaan sumber daya alam (SDA) telah menjadi faktor keberhasilan suatu negara dalam mencapai standar perekonomian tertentu. Banyak negara berlomba-lomba mengokohkan sektor ekstraktifnya, terutama di bidang minyak dan gas (migas) serta mineral dan batu bara (minerba). Misalnya, negara-negara di Timur Tengah yang menjelma sebagai raksasa minyak dunia dan berhasil menjadi salah satu penyuplai terbesar di pasar global. Hal ini sejalan dengan pernyataan Profesor Norton Ginsburg (1921–2007) dari University of Chicago:

“Kepemilikan sumber daya alam yang cukup besar dan terdiversifikasi merupakan keuntungan besar bagi negara mana pun yang memulai periode pertumbuhan ekonomi yang pesat.”
Namun, di berbagai belahan dunia, kekayaan SDA justru menahan tantangan besar, terutama sejak era 1980-an. Pada masa ini, mulai bermunculan pandangan-pandangan yang menentang anggapan bahwa SDA selalu menjadi berkah. Paradoks muncul ketika banyak negara justru mengalami kinerja buruk yang memiliki kekayaan alam yang melimpah. Fenomena ini dikenal dengan sebutan kutukan sumber daya alam .
Alih-alih menjadi kunci pertumbuhan ekonomi, sebagian besar negara yang memiliki cadangan SDA malah terjebak dalam kemiskinan akut. Contohnya adalah Venezuela, negara dengan cadangan SDA terbesar di Amerika Latin, yang justru mengalami kemiskinan ekstrem. Lembaga Survei Nasional Venezuela (ENCOVI) pada tahun 2021 melaporkan bahwa 76,6% dari 28 juta penduduknya hidup dalam kondisi miskin. Padahal, Venezuela merupakan salah satu eksportir minyak terbesar di dunia dan anggota OPEC. Hal serupa juga dialami negara-negara OPEC lainnya, seperti Azerbaijan, Nigeria, dan Libya.
Sebaliknya, negara-negara yang tidak memiliki SDA justru berhasil mencapai pertumbuhan ekonomi pesat, seperti Singapura, Taiwan, dan Hong Kong. Mereka berkembang melalui perdagangan internasional dan industri manufaktur serta diproyeksikan menjadi kekuatan ekonomi besar dalam beberapa dekade mendatang.
Dalam pengantar buku Escaping the Resource Curse , George Soros menjelaskan bahwa paradoks ini dipicu oleh tiga faktor utama: apresiasi mata uang, refleksi harga komoditas, serta pengaruh asimetris politik. Dari faktor ketiga ini, Soros menekankan bahwa asimetris politik adalah penyebab utama. Paradoks ini menyebabkan kerugian bagi satu pihak—rakyat—dan menguntungkan pihak lain, yaitu korporasi dan elite negara.
Joseph Stiglitz juga menyoroti bahwa asimetris politik seringkali membuka celah bagi praktik kolusi dan korupsi. Informasi terkait pengelolaan SDA cenderung hanya beredar di korporasi dan elite, sementara rakyat dikesampingkan. Dalam sistem demokrasi, masalah ini semakin pelik karena adanya restock power (pergantian kekuasaan), yang meningkatkan peluang terjadinya korupsi dan kolusi dibandingkan negara dengan sistem monarki.

Sejarah menunjukkan bagaimana korporasi dan kekuatan memainkan peran tunggal dalam perebutan SDA. Salah satu contoh klasik adalah kudeta terhadap Perdana Menteri Iran, Mohammad Mossadegh, pada tahun 1953. Mossadegh menasionalisasi industri minyak Iran yang sebelumnya dikuasai oleh perusahaan Inggris, tetapi kebijakannya memicu intervensi CIA melalui Operasi Ajax , yang berakhir pada penggulingannya. Peristiwa ini menjadi bukti kuat bagaimana kepentingan korporasi dapat menggoyahkan stabilitas suatu negara.
Fenomena menarik ini dalam skala regional, Aceh—provinsi di ujung barat Indonesia—juga memiliki cadangan SDA yang melimpah. Selain migas, mineral, dan batu bara, Aceh juga kaya akan keanekaragaman hayati, termasuk hutan, komoditas pertanian, serta satwa endemik.
Menurut Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA), pada tahun 2023 Aceh memiliki delapan wilayah kerja migas yang tersebar di seluruh provinsi. Data terbaru dari Mubadala Energy (South Andaman) RSC LTD menunjukkan bahwa sumur Layaran-1 memiliki potensi mencapai 6 triliun kaki kubik ( triliun kaki kubik , TCF) gas-in-place, melebihi cetakan sumur Geng North-1 yang sebelumnya masuk tiga besar dunia.
Di sektor minerba, hingga Agustus 2024 Aceh memiliki 64 izin usaha pertambangan (IUP) mineral dan bukan logam, sebagian besar di bidang mineral (Dinas ESDM Aceh, 2024).
Namun, meski kaya SDA, Aceh justru mengalami paradoks kutukan sumber daya alam . Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, Aceh merupakan provinsi termiskin di Sumatera dengan angka kemiskinan mencapai 14,23% pada Maret 2024.
Mereka menyebut beberapa faktor penyebabnya, termasuk rendahnya serapan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan ketergantungan pada Dana Otonomi Khusus (Otsus) (VOA Indonesia, 2024).

Namun jika dilihat dari pendekatan Humphreys dkk., Aceh sebagai daerah dengan otonomi khusus dan kekayaan SDA seharusnya mampu mandiri secara ekonomi. Sayangnya, indikasi asimetris politik dalam elite pemerintahan lokal sangat kuat, terlihat dari tingginya angka kemiskinan meski SDA melimpah.
Fakta bahwa politik Aceh kini didominasi oleh pengusaha yang maju dalam kontestasi politik menunjukkan potensi besar terjadinya konflik kepentingan . Hal ini memperbesar peluang kolusi antara elit politik dan korporasi, yang pada akhirnya merugikan rakyat.
Diperlukan perbaikan serius dalam tata kelola SDA agar Aceh dapat keluar dari jerat paradoks ini. Seperti kata Pramoedya Ananta Toer:
“Hendaklah seseorang berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan.”
Salah satu solusinya adalah meningkatkan transparansi pengelolaan SDA, termasuk dengan memastikan laporan dan pertanggungjawaban yang dapat diakses publik. Gerakan Publish What You Pay , yang digagas Global Witness pada tahun 2003, bisa menjadi inspirasi. Gerakan ini menuntut perusahaan ekstraktif untuk melaporkan pendapatan mereka secara terbuka, yang kemudian diadopsi oleh Pemerintah Inggris sebagai langkah transparansi.

Mahasiswa FEB USK & Ketua Bidang Riset P2LH Aceh
Selain itu, pendistribusian informasi mengenai pengelolaan SDA harus dilakukan agar tidak hanya dikuasai oleh elit dan korporasi, tetapi juga oleh masyarakat luas. Dengan demikian, masyarakat dapat berpartisipasi dalam pengawasan, dan pemerintah dapat mendorong kesetaraan akses pendidikan serta kesadaran kritis terhadap SDA.
Penulis:
Muhammad Resqi
Mahasiswa FEB USK & Ketua Bidang Riset P2LH Aceh