Banda Aceh, Bisnisia.id – Ratusan ribu buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) siap menggelar aksi unjuk rasa besar-besaran di seluruh Indonesia mulai 24 hingga 31 Oktober 2024. Aksi ini merupakan bentuk desakan kepada pemerintah agar menaikkan upah minimum pekerja sebesar 10 persen pada tahun 2025.
Ketua KSPI, Said Iqbal, dalam pernyataannya di Jakarta, Jumat (18/10/2024), menegaskan bahwa kenaikan biaya hidup harus diimbangi dengan kenaikan upah yang layak bagi buruh. Ia meminta agar pemerintah menetapkan kenaikan upah minimum sebesar 8 hingga 10 persen.
“Ratusan ribu buruh di seluruh Indonesia akan turun ke jalan dari 24 hingga 31 Oktober 2024 di 38 provinsi dan lebih dari 350 kabupaten/kota,” ujar Iqbal, sebagaimana dilaporkan oleh Bisnis.com.
Dalam siaran pers KSPI, Iqbal menjelaskan dasar perhitungan kenaikan tersebut. Inflasi yang diproyeksikan sebesar 2,5 persen dan pertumbuhan ekonomi sekitar 5,2 persen pada 2025, jika digabungkan, menghasilkan angka 7,7 persen. Selain itu, pada 2024, buruh mengalami kesulitan finansial karena kenaikan biaya hidup tidak diikuti dengan peningkatan upah.
Sebagai contoh, di kawasan industri seperti Jabodetabek, inflasi tercatat sebesar 2,8 persen, sementara kenaikan upah hanya 1,58 persen. Hal ini membuat buruh harus menutupi kekurangan 1,3 persen dari selisih inflasi dan kenaikan upah.
“Angka 8 persen sudah cukup logis, berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi, ditambah faktor kekurangan (nombok) sebesar 1,3 persen,” jelas Iqbal.
Iqbal juga menyoroti disparitas upah yang masih tinggi di wilayah-wilayah perbatasan. Untuk mengurangi kesenjangan ini, KSPI menambahkan 2 persen dalam tuntutan kenaikan, sehingga total kenaikan yang diusulkan mencapai 10 persen. Ini dimaksudkan untuk mencegah kesenjangan semakin melebar di antara daerah-daerah yang berbatasan.
Selain itu, KSPI menolak penerapan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 2023 dalam perhitungan upah minimum. Iqbal menyatakan, konsep batas bawah dan batas atas yang diatur dalam PP tersebut tidak sesuai dengan undang-undang sebelumnya, termasuk Omnibus Law Cipta Kerja. Ia juga menilai rumus perhitungan upah yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Tenaga Kerja sebagai misinformasi yang merugikan kesejahteraan buruh.
Lebih jauh, KSPI mengungkapkan bahwa daya beli buruh telah turun sebesar 30 persen dalam lima tahun terakhir, dengan kenaikan upah selama tiga tahun terakhir bahkan berada di bawah tingkat inflasi. Hal ini semakin menggerus upah riil buruh.
Iqbal juga mencatat, dalam lima bulan terakhir 2024, terjadi deflasi yang menunjukkan penurunan daya beli masyarakat. Deflasi ini berdampak buruk bagi kelas menengah bawah, termasuk buruh, yang pendapatannya stagnan sementara harga barang terus naik.
Menutup pernyataannya, Iqbal mengingatkan agar penentuan upah minimum 2025 tidak dijadikan ajang permainan oleh Kementerian Tenaga Kerja dan meminta birokrasi menunggu pemerintahan baru di bawah Presiden terpilih Prabowo Subianto untuk mengambil keputusan.
Dalam kaitannya dengan Omnibus Law Cipta Kerja, KSPI juga mengajukan tujuh poin utama yang mereka harap dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam uji materi, termasuk penolakan upah murah, penghapusan outsourcing, serta peningkatan perlindungan bagi pekerja perempuan.
“Harapan kami, Mahkamah Konstitusi dapat mengembalikan ketentuan ketenagakerjaan sesuai dengan UU Nomor 13 Tahun 2003, sambil menunggu pemerintahan baru untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) terkait ketenagakerjaan,” tutup Iqbal.