Bisnisia.id | Jakarta – Sritex, sebuah perusahaan tekstil asal Indonesia yang berdiri tahun 1966 dinyatakan pailit atau bangkrut pada 2024. Nasib puluhan ribu karyawan terancam. Karena itu pula, Presiden Prabowo Subianto memerintahkan bawahannya untuk menyelamatkan perusahaan itu.
Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita seperti disiarkan oleh Bisnis.com, Minggu (27/10/2024), dia telah diperintahkan oleh Presiden untuk mencari solusi menyelamatkan Sritex. Bukan hanya Menperin, Kementerian BUMN juga diminta untuk menyelamatkan perusahaan tekstil tertua dan terbesar di Asia Tenggara itu.
PT Sri Rejeki Isman Tbk. atau Sritex (SRIL) resmi dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri (PN) Niaga Semarang lewat putusan PN Semarang atas perkara nomor 2/Pdt.Sus-Homologasi/2024/PN Niaga Smg. Pembacaan putusan kepailitan Sritex dan perusahaan lainnya itu dilakukan pada Senin (21/10/2024) di PN niaga Semarang.
Sritex disebutkan mengalami kesulitan membayar utang yang dia dipinjam dari 28 perbankan, baik bank nasional maupun luar negeri. Setelah melalui gugatan, akhirnya pengadilan menyatakan Sritex bangkrut.
Jatuhnya raksasa tekstil itu mengancam kehidupan puluhan ribu para pekerja. Mereka kini terancam pemutusan hubungan kerja atau (PHK). Jika ini terjadi, pemerintah harus menanggung beban karena warga yang kehilangan pekerjaan akan bertambah.
CNBC Indonesia menyebutkan Sritek telah terlilit utang yang mencapai Rp 24,66 triliun (kurs=Rp15.500/US$).
Agus menambahkan pemerintah sedang mengkaji langkah untuk menyematkan Sritex agar tetap bia beroperasi.
Pemerintah memeinta Sritex untuk tidak langsung melakukan PHK terhadap para pekerja.
Merujuk pada laman resmi perusahaan, Sritex didirikan pada 1966 oleh H.M Lukminto sebagai perusahaan perdagangan tradisional di Pasar Klewer, Solo. Pada 1986 Sritex membuka pabrik pertama memproduksi kain putih dan berwarna.
Sritex resmi terdaftar di Kementerian Perdagangan sebagai perseroan terbatas pada tahun 1978. Langkah ini menandai dimulainya perjalanan perusahaan dalam industri yang sangat kompetitif. Empat tahun kemudian, pada tahun 1982, Sritex mendirikan pabrik tenun pertamanya, memperkuat fondasi produksinya.
Pada tahun 1992, Sritex memperluas fasilitas produksinya dengan menambahkan empat lini produksi—pemintalan, penenunan, sentuhan akhir, dan busana—semuanya terintegrasi dalam satu lokasi. Langkah ini tidak hanya meningkatkan efisiensi, tetapi juga memperkuat posisi Sritex di pasar.
Dua tahun kemudian, pada tahun 1994, Sritex berhasil mendapatkan kontrak untuk memproduksi seragam militer bagi NATO dan Tentara Jerman, sebuah pencapaian yang membuka jalan bagi perusahaan untuk memasuki pasar global.
Krisis Moneter 1998 menjadi tantangan besar bagi banyak perusahaan, namun Sritex berhasil melaluinya dengan baik. Pada tahun 2001, perusahaan ini melaporkan pertumbuhan yang luar biasa, melipatgandakan kapasitasnya hingga delapan kali lipat dibandingkan dengan saat pertama kali terintegrasi pada tahun 1992.
Menghadapi persaingan global yang semakin ketat, Sritex terus berinovasi dan meningkatkan kualitas produknya. Pada tahun 2012, perusahaan ini berhasil menggandakan pertumbuhan dan kinerjanya dibandingkan dengan tahun 2008. Pencapaian ini membuktikan bahwa Sritex mampu beradaptasi dan berkembang meskipun dalam kondisi pasar yang sulit.
Tahun 2013 menjadi momen penting ketika Sritex secara resmi terdaftar di Bursa Efek Indonesia dengan kode saham SRIL. Langkah ini menandai komitmen perusahaan terhadap transparansi dan tata kelola yang baik. Pengakuan atas prestasi Sritex semakin kuat pada tahun 2014, ketika Iwan S. Lukminto, pemimpin perusahaan, menerima penghargaan sebagai Businessman of the Year dari majalah Forbes Indonesia.
Di tahun-tahun berikutnya, Sritex terus meraih berbagai penghargaan, termasuk dari Museum Rekor Indonesia dan WIPO untuk kategori Intellectual Property Rights Award. Pada tahun 2016, perusahaan ini menerbitkan obligasi global senilai 350 juta Dollar Amerika, menunjukkan stabilitas finansial dan prospek pertumbuhan yang menjanjikan.
Pada tahun 2017, Sritex meningkatkan modal melalui Non Pre-emptive Rights dan menerbitkan obligasi global senilai 150 juta Dollar Amerika yang jatuh tempo pada tahun 2024. Ini menjadi langkah strategis dalam mendukung ekspansi dan investasi di masa depan.